“Jangan turun kakinya Mas,” kata pengojek.
“Siapa yang turun? Jan***k! Ini karena kegoncang dan turun sendiri kaki,” kataku membela diri. Aku terpaksa mengumpat karena ini sudah kedua kali kakiku turun dari pijakan boncengan motor.
Pengojek itu masih ngoceh meski kami terjatuh di tanjakan tanah dengan jalur ban yang agak dalam. Karena jalur ban ini membuat kami terjatuh tidak menimbulkan luka sama sekali. Hanya celana saya bagian dengkul kiri kotor kena tanah karena jatuh miring ke kiri. Aku tak memperhatikan kondisi mas-mas pengojek itu.
Dia masih mengomel dan aku mau meladeni kalau tak ingat hal itu hanya memperburuk keadaan. Dia masih muda dan sepertinya ingin menunjukkan eksistensi bisa membawa penumpang dengan yang paling cepat.
Kami waktu itu bersebelas, sedang beriringan menuju ke Pos Mata Air 1, tempat awal kami akan mendaki G. Argopuro. Dalam banyak kasus mengojek menjadi pilihan ketika kita berburu waktu atau kelelahan. Tapi yakinlah, kami memburu waktu. Bagaimanan lelah? Wong baru mau mulai mendaki.
Kami tiba di Basecamp Baderan ketika hari menjelang siang, Jumat 14 Oktober 2022. Bertemu di Stasiun Pasarturi, kami bersebelas menyewa Elf menuju ke Baderan Situbondo.
“Maaf kondisi elf-nya ya. Saya tidak menyangka akan begini kondisinya,” kata Om Gio seperti memahami kebengongan kami. Soalnya, dalam beberapa perjalanan yang aku ikuti bersama rombongan ini, ini Elf dengan kondisi seadanya. Ada lubang AC di atas kepala sisi kanan kiri penumpang. Tapi di pojokan kursi penumpang di belakang kepala pak sopir, bertengger “AC” yang tak lain tak bukan kipas angin. Hehehe…
Tapi yang namanya anggun, anak gunung, kondisi apa pun tak masalah. Jika hanya karena kondisi seperti ini saja mengeluh, tak bisa dibayangkan saat mendaki nanti.

Baiklah, kita lanjutkan tragedi jatuhnya motor yang aku tumpangi tadi. Setelah itu aku diam saja. Ketika disuruh memegang keril yang ditaruh di cekungan motor bebek tempat kaki berpijak aku menurut saja. Tidak seperti yang lain, mas ini tidak mengikatkan keril ke badannya. Jadi sering bergeser posisinya dan sama dia dibenerkan posisinya dengan mendorong keril menggunakan dengkulnya.
Jika keril miring ke kiri, dengkul kiri beraksi. Begitu sebaliknya. Rupanya ini mengacaukan keseimbangannya. Aku pun disuruh menjaga ketegaklurusan keril. Tapi ya mana bisa, karena aku juga bergoyang mengikuti kondisi jalan yang gak rata.
Dalam obrolan selanjutnya mas pengojek bilang bahwa selama aku tdak menurunkan kaki pasti bisa sampai ke atas. Aku pun berpikir mas ini sudah jago mengatasi kontur jalan tanah menanjak dengan jalur ban yang sudah ambles mulai dari sekitar 5 cm hingga sepertiga ban motor bebek.
Akhirnya dalam tanjakan yang cukup curam dan jalur ban cukup dalam, mas pengojek terjebak. Gak bisa naik tapi turun juga ketahan rem. Aku akhirnya turun dan menunggu di atas, di akhir tanjakan. Tanjakan ini agak menikung sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mas pengojek tadi. Hanya ketika sampai di atas ternyata yang bawa motor sudah orang lain.
Mau ketawa takut masnya tersindir. Aku hanya diam melihat muka masnya tertunduk ketika berjalan menapaki tanjakan mendekati motornya yang sudah terparkir di akhir tanjakan.
Melihat di depan ada tanjakan lagi aku pun berinisiatif jalan kaki lagi dan menunggu di atas.
“Sini Mas, gak usah jalan kaki,” teriak mas pengojek. Aku pun berbalik arah dalam diam, dan naik ke boncengan. Hanya kali ini masnya sudah mereda emosinya, terbukti dengan mengajak ngobrol dalam bahasa yang datar. Tidak meledak-ledak seperti sebelumnya. Toh aku tetap tak nyaman di belakang dia. Apalagi bau mulutnya seperti belum gosok gigi. Jangan bilang itu bau mulutku, sebab aku sebelum naik sudah gosok gigi. Juga sudah mandi.
Akhirnya sampai juga di Pos Mata Air 1. Tidak lagi yang pertama, tapi sudah urutan ke sekian.
Aku pun bersyukur dan menambah daftar kengerian ngojek dalam pendakian. Sebelumnya merasakan kengerian yang sama ketika mau mendaki Sumbing via Segarung.
Alhamdullilah, pos mata air tak berubah menjadi pos air mata.

Setelah berkumpul semua dan berdoa bersama, sekitar pukul 13.00 kami bergerak menuju Pos Mata Air 2. Jalanan masih sopan. Hawa juga masih terasa sejuk. Mendung sedikit menggantung, membuat kami berdoa semoga tidak hujan di sepanjang jalan.
(Aku kali ini ikut bersama komunitas pendaki gunung NOLB, No One Left Behind: Om Daru, Om Toni, Om Wiko, Om Gio, Om Tono, Om Eza, Om Inu, Nte Fitri, Nte Widhi)
Hujan dalam pendakian memang membuat suasana syahdu. Tapi itu hanya di angan-angan saja. Percayalah, lebih baik tidak hujan daripada hujan ketika sedang mendaki. Biarlah hujan turun pas tenda sudah berdiri. Itu pun jangan hujan badai dan berhenti ketika kami akan melanjutkan perjalanan. Itulah maunya manusia hehe….
Entah mengapa, aku kok berada di rombongan depan. Bersama Om Daru dan Om Toni. Jadi ingat ketika mendaki G Raung, kami menjadi yang terdepan. Bagiku sebenarnya tidak masalah berpencar sebab tidak semua memiliki pace yang sama. Hanya saja setiap pos atau jarak tertentu kami regrouping. Baik dalam grup separo atau penuh.
Soalnya, kalau kita (kita …. aku sih tepatnya; tepatnya menurut perasaanku hehehe ….) berjalan di bawah atau di atas pace bikin capai. Soalnya kita membawa keril yang beratnya paling tidak 10 kg. Semakin lama menahan beban tentu semakin menurunkan daya tahan kita.
Begitulah, di pondok sebelum pos mata air 2 kami regrouping kembali. Di sini aku melihat tongkat kayu tersandar di sebuah dinding pondok. Langsung aku samber dan kucoba kekuatannya. Cukup kuat dan kok ya panjangnya sesuai dengan tinggi badan. Bahkan pada posisi dipakai untuk menapak jalan datar, ada coakan di pegangan tangan. Jadi seperti ngegrip di pegangan tangan.
Setelah berkumpul kembali, kami melanjutkan. Rute masih hampir sama. Menanjak pelan dan jalan tanah. Ketika sampai di Pos Mata Air 2, aku, om Daru, om Toni, dan om Tono yang tiba duluan setelah agak lama menunggu rombongan belakang akhirnya bergegas kembali menuju Cikasur, tempat kemping di malam pertama.

Dari pos mata air 2 ini kemudian kita akan berjumpa dengan sabana kecil. Untuk seterusnya sampai base camp Cikasur, lanjut ke Cisentor, banyak sabana akan kita lalui. Ada yang rata, ada yang berbukit-bukit. Kadang bertemu dengan bermacam burung yang tiba-tiba saja terbang mendengar langkah kita.
Melewati sabana dengan beban keril ternyata butuh keseimbangan yang bagus sebab kita melewati jalan setapak yang rerata lebarnya sekitar 20 cm. Jadi langkah kita harus lurus bak peragawati berlenggak-lenggok di jalan kucing. Andai tak bawa keril gak masalah. La ini keril itu bergoyang dan tidak bisa kita kendalikan goyangannya sehingga …. kapal oleng Bos!
Tapi, sungguh, alam terlalu indah di tempat-tempat yang jarang terjamah.
Di sabana kecil kami kembali regrouping. Di sini aku mulai melihat ada tapak-tapak yang masih baru. Baik tapak kaki atau tapak trekpole.
“Kayaknya di depan kita ada orang nih. Belum lama kelihatannya,” kataku kepada om Daru.
Ada sekitar tiga sabana kami lalui sebelum akhirnya bertemu persimpangan. Kedua jalur setapak ini dalam pandangan kami bertemu di satu jalur. Hanya saja yang satu menurun ke sebuah sungai yang berkelak-kelok. Kelokan sungai kecil ini membuatku teringat akan Ngarai Sihanok. Sementara satu jalur lainnya lebih memutar menghindari turunan tajam ke sungai. Di seberang sana, sabana luas terhampar. Ah, andai bawa drone bisa mengambil gambar saat melintas di hamparan dua sabana yang terpisah sungai kecil ini.
Sebelum menemui jalur persimpangan ini om Daru sudah bilang di depan seperti ada tenda. “Bukan, kayak plang pengumuman itu,” kataku.
Kami mengambil jalur yang memutar. Ketika sudah berpindah punggungan di tepi sabana satunya lagi, keindahan kelokan sungai itu makin membiusku.
Sore sudah menjelang. Kami pun melanjutkan dan ternyata sudah sampai Cikasur. Di depan kami terhampar sabana amat luas. Di sisi kiri kami, sekitar pukul 10.00 terlihat sebuah pohon tinggi dengan pagar tanaman perdu mengelilingi. Di sekitar pukul 08.00 ada bangunan dengan atap seng. Sepertinya toilet. Atap seng ini yang dikira tenda oleh om Daru. Di sekitar pukul 09.00 ada bangunan semi permanen yang menarik perhatianku. Aku mendekat ke bangunan ini sementara om Daru menuju plang Cikasur yang sejajar dengan pohon besar berpagar perdu tadi.
Sementara di kejauhan sana terlihat dua manusia berfoto ria. Benarlah dugaanku bahwa ada pendaki lain yang di depan kami.

Pohon besar tadi ternyata menyediakan lahan yang cukup untuk mendirikan sekitar 15-an tenda kapasitas dua orang. Di sinilah kami melihat tenda dua manusia yang sedang berfoto ria tadi.
Lantas apa bangunan semi permanen yang menarik perhatianku? Ternyata seperti shelter yang tak terawat. Sekilas aku membaca ada grafiti bertuliskan “… PERBAKIN”. Tidak jelas kata apa di depan PERBAKIN tadi. Tinggi bangunan ini sekitar 60-an cm, berukuran sekitar 3 x 3 m persegi. Tak jauh dari bangunan utama ini ada reruntuhan bangunan lebih kecil, sudah tanpa atap.
Saat gelap memeluk hamparan sabana Cikasur, rombongan besar akhirnya sampai. Di sini pula untuk pertama kali aku mendirikan tenda minimalis (tarp tent) dengan susah payah. Dan masih belum terpasang dengan benar!
Sabana Cikasur memang menjadi tempat menenda ideal. Meski, Buketu was-was dengan Bagas. Sempat terkesiap, apa itu Bagas? Ternyata kepanjangan dari Babi Ganas. Sepanjang jalur memang kita bisamelihat jejak-jejak babi hutan atau celeng ini. Dan memang celeng bisa menjadi pengacau sebuah perkemahan karena hidungnya tajam mengendus makanan dan akan disantapnya. Jadi teringat dengan Emon, babi ganas di G Papandayan. Makanya, untuk mengatasinya, sisa-sisa bahan makanan yang masih ada harus digantungkan di pepohonan.
Akan tetapi Cikasur memiliki banyak sisi. Misteri dan keindahan alam. Bentang alam Cikasur amat luas dan berupa sabana. Makanya, dulu digunakan sebagai landasan pesawat terbang. Juga tempat latihan tentara. Sementara dari sisi misteri ceritanya seperti tak berbatas.
Ada yang bilang menjadi tempat bermain Dewi Rengganis. Terkadang dia menampakkan diri di kejauhan. Diiringi kereta kudanya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya. Aku? Sore menjelang malam itu aku hanya melihat kesepian. Ada plang tidak boleh melewati sabana di sisi timur yang luas itu karena bukan jalur pendakian.
“Dengar derap sepatu lars enggak?” tanya temanku ketika tahu aku baru saja bermalam di Cikasur.
Malam itu aku hanya mendengar suara burung. Habis itu lelap dalam tidur. Sisa makanan yang masih teronggok di luar tenda tak kupedulikan. Kalau bagas datang dan menyeruduk tendaku ya pasrah saja.
Malam itu aku nganyari banyak hal. Tenda tarp, sleeping bag yang nyaman sampai 5 derajat Celcius, dan jaket bulang.
(*bulang = bulu angsa)

Pukul 04.00 aku bangun. Agak kaget karena tempat tidur sempit. Ya, tenda enteng yang aku pakai memang berkapasitas satu orang. Hotel kapsul saja masih lebih lega. Toh aku menikmatinya.
Pendakian G Argopuro menjad pendakian unik di Jawa karena jalurnya panjang dan tidak berakhir di basecamp yang sama. Kalau tidak Baderan – Bermi, ya Bermi – Baderan. (Ingat ya Bermi. Jangan salah tulis menjadi Bremi.) Ada banyak titik yang harus disinggahi kalau mau tahu keindahan G Argopuro ini. Untuk mencapai semua titik itu terlalu jauh kalau untuk balik ke titik awal. Semisal dari Baderan ke Taman Hidup, kalau mau balik ke Baderan lagi bisa ultra-hiking. Sementara tinggal sepertiga jarak saja sudah sampai Bermi. Begitu pula sebaliknya, dari Bermi sayang sekali kalau tidak ke Cikasur.
Argopuro sendiri memiliki makna “Gunung Pura”. Argo bermakna “gunung’” dan puro bermakna “Pura’” yakni tempat beribadahnya umat agama Hindu. Hal ini tergambar oleh pemandangan di kawasan puncaknya yang dipenuhi oleh puing-puing bangunan yang dilihat dari strukturnya terlihat seperti sebuah bangunan Pura.
G. Argopuro sendiri memiliki tiga puncak yang berdekatan. Rengganis, Argopuro, dan Hyang. Dua puncak terakhir berada dalam satu punukan. Sementara Rengganis di punukan lain dan di sinilah kita bisa membaui belerang karena tak jauh dari sini ada kawah. Di P Rengganis ini ada petilasan yang konon katanya tempat tinggal Putri Rengganis. Di sini juga berkembang cerita misteri dan ada yang menjadi mitos. Seperti harta karun peninggalan raja-raja yang ingin mempersunting Rengganis. Ada mitos jika kita memungut harta karun ini akan memperoleh kesulitan di kemudian hari.
Hampir semua dari kami adalah pekerja kantoran, Senin – Jumat, 08.00 – 17.00. Jadi mendaki lebih dari dua hari menjadi masalah besar. “Cutiku belum disetujui,” kata seorang dari kami sebelum hari H tiba.
Padahal, Argopuro butuh setidaknya empat hari tiga malam (4D3N) untuk menikmati segala keindahan dan misterinya. Makanya, ketika kami selesai pendakian dan tak menemukan kisah aneh sepanjang perjalanan, Om Wiko bilang, “La dedemitnya baru dandan kita sudah pergi.”
Dengan modal tiga hari dua malam (3D2N), maka ketiga puncak tadi kami selesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Yang penting bisa foto di bawah bendera di ketiga puncak. Itu sebagai penanda kami benar-benar menyambangi tiga tetenger Argopuro.
Jadi, begitulah. Dari Cikasur kami bergegas sekitar pukul 07.00. Molor dari rencana 6.30. Tambah molor ketika kami selfie-wefie dulu di plang nama Cikasur.
Dari Cikasur tujuan kami selanjutnya adalah Sabana Lonceng. Ini persimpangan menuju ke tiga puncak tadi. Jaraknya dari Cikasur sekitar 13 km. Karena berpindah punggungan, maka rute ini menawarkan jalur yang variatif. Melewati sabana, menerobos perdu, serta menyusuri hutan pinus. Konturnya naik, turun, datar. Yang datar tidak perlu diceritakan. Yang perlu diperhatikan ya naik turunnya itu.

Pada beberapa segmen turunnya curam dan terkadang berundak, baik berbatu atau jalinan akar. Di beberapa tempat kita akan melihat tebing-tebing batu di sisi kanan kita. Mengingatkan akan tebing batu Arjuno-Welirang.
Sementara, naiknya kadang sopan, di banyak tempat menguji nyali dan hati. Tidak mengumpat maksudku hati di sini. Dengan membawa keril sundul kepala, menjadi repot ketika menyusuri rute ini karena beberapa pohon tumbang melintang di jalur. Antara menerobos di bawah pohon tumbang atau memutar mencari celah untuk melewati pohon tumbang itu.
Di Cisentor kita bisa mengisi air karena melewati sungai kecil yang bening. Untuk menuju ke sini kita melewati jalur turunan yang curam melewati jalinan akar. Hati-hati kalau enggak mau tersandung akar.
Sumber air selanjutnya di Rawa Embik. Sebelum sampai sini, di tengah jalan setapak aku melihat kotoran hewan segede gaban. “Kotoran apa itu?” Aku mendengar suara Om Daru bertanya.
“Kambinglah. Kita kan mau sampai Rawa Embik atau Rawa Kambing,” jawabku. Membayangkan sebuah rawa dengan kambing sedang merumput. Kambing piaraan Dewi Rengganis, batinku.
Tapi begitu sampai plang Rawa Embik, aku jadi penasaran. Mana rawanya? Mana kambingnya yang mengembik?
Ternyata, seperti yang sudah disinggung tadi, Gunung Argopuro merupakan sebuah kompleks kerajaan yang dipimpin oleh Dewi Rengganis. Keratonnya berpusat di Puncak Rengganis. Nah, Alun-Alun Rawa Embik merupakan padang rumput untuk menggembala hewan peliharaan kerajaan.
Dewi Rengganis sendiri merupakan putri dari Prabu Brawijaya yang diasingkan. Ia adalah putri dari salah satu selir Brawijaya.
Begitu saudara-saudara ….
Kami – aku, om Daru, dan Om Toni, sempat kebingungan mencari jalan setapak menuju ke Sabana Lonceng. Petunjuk arah sedikit membagongkan. Menyisir sungai ternyata jalur tidak ketemu. Akhirnya membuka peta digital. Ternyata jalur ke Sabana Lonceng mengarah ke atas.
Dari Rawa Embik ke Sabana Lonceng sekitar 3 km. Namun jalurnya nanjak dengan variasi gradien di angka 9 – 10 persen. Serta menemui pohon-pohon tumbang. Sebelum sampai Sabana, mesti melewati lembah cukup curam dan saat itu ada pohon tumbang menutup jalur. Terpaksa meniti batang pohon. Beruntung hari itu tidak hujan. Bisa dibayangkan betapa licinnya kalau batang pohon ini kena hujan.

Jelang siang kami sudah berkumpul di Sabana Lonceng. Ada yang rebahan, ada yang sembahyang, ada yang masak mie. Setelah semua beres, baru kami mendaki ke Puncak Rengganis.
“Cuma 10 menit paling,” kata Mas Mul, porter yang mendampingi kami. Ternyata memang tidak jauh ke Puncak Rengganis. Sayangnya, waktu yang terbatas tak memberi ruang banyak untuk mengeksplor puncak ini. Rasanya bener yang dibilang Om Wiko, Rengganisnya capek dandan kalau kami hanya sebentar berkunjung.
Dari Rengganis kami kembali ke Sabana Lonceng. Mengambil keril kami yang untuk sementara berpisah punggung. Memberi jeda mereka menikmati sepi sabana yang siang itu terasa menghangatkan badan.
Jika waktu berlebih, maka berkemah di Sabana Lonceng akan memberikan suasana baru. Apalagi konon ada mitos tersembunyi di sini. Yakni, salah seorang di antara rombonganmu akan mengalami mimpi basah. Hal ini sudah sangat sering terjadi, banyak pendaki yang meyakini bahwa mitos ini memang benar adanya.
Cuma ada guyon, mimpi basah orisinal hanya untuk pendaki akil balik. Kalau pendaki berumur, mimpi basah yang lain. KW. Yakni mengompol. Merasa pipis di bawah pohon. Padahal masih tidur.
Karena tidak menginap di Sabana Lonceng maka kami pun melanjutkan perjalanan untuk menapak puncak yang lain, Argopuro dan Hyang. Butuh ketahanan berlebih untuk mendaki ke dua puncak ini. Dari sabana tadi jalur langsung menanjak, merayap di bawah kerimbunan pohon pinus. Beruntung tidak banyak pohon tumbang yang menutup jalur.
Jika jalur ini tidak tertutup pepohonan, akan terlihat dari bawah sebagai jalur yang relatif lurus. Tanpa berkelak-kelok sebagai jurus lelah. Jadi ingat dengan jalur serupa di Tanah Papua, khususnya Wamena. Mereka pragmatis meski bikin badan capai.
Lokasi puncak Argopuro menurutku amat sempit dibanding puncak gunung lain yang aku daki. Bisa jadi karena kurangnya muncak aku. Yang jelas tak bisa banyak bergerak di sini. Pemandangan juga kurang oke dibandingkan Puncak Rengganis misalnya. Tapi, ya di sinilah puncak tertinggi kawasan Dataran Tinggi Hyang.
Dari puncak Argopuro lanjut ke Puncak Hyang. Menurun dan melewati jalur di kerimbunan pohon pinus. Sama seperti Puncak Argopuro, puncak Hyang pun sempit. Semacam punukan dan dikasih tetenger. Namun konon kabarnya di sini tempat situs pura. Ada semacam pintu gerbang dan undak-undakan.
“Nanti kita ke sana,” kata Mas Mul menunjuk tempat menenda berikutnya. Tempat yang ditunjuk tak terlihat karena tertutup kabut. Yang terlihat, Mas Mul duduk di batu yang katanya merupakan salah satu pintu gerbang itu.
Sama seperti naik ke Puncak Argopuro, turun dari Puncak Hyang menuju Danau Taman Hidup tempat menenda pun sama sulitnya. Terjal dan berbatu. Bahkan ada segmen yang diberi webbing sebagai alat bantu turun.
Naas, om Tono yang menggunakan webbing ini terjatuh karena tali webbing dah getas. Beruntung sudah agak di bawah. Namun tulang keringnya terluka.
Habis turunan ini ada percabangan dan kita harus hati-hati. Sebab kalau salah ambil jalan bukannya menuju Taman Hidup, tapi ke Sabana Lonceng lagi. Kejadian ini menimpa sebuah rombongan yang bertanya ke kami dari mana sewaktu istirahat di Sabana Lonceng sebelum muncak ke Rengganis.
Eh tapi aku sendiri sempat menyasar rute ke Sabana Lonceng ini. Untung belum jauh dan kalau dilihat di peta memang jalan ke Sabana Lonceng. Jadi ya kembali ke pertigaan tadi dan ambil jalan yang benar. Yakni ke kanan kalau dari puncak Hyang.
Turun dari puncak ke Taman Hidup mengingatkanku ketika turun dari Pasar Bubrah di G Merapi ke Selo beberapa tahun silam. Bukan soal jalur, tapi kakiku menderita akibat sepatu yang kurang pas. Turunan yang curam membuat ibu dan anak-anak jari-jari kaki menjerit karena terkena ujung sepatu.

Pendakian kali ini aku memakai sepatu hiking Quechua. Praktis dan enak dipakai sih. Ada lubang-lubang ventilasi di sekeliling sepatu. Terus talinya menggunakan sistem penguncian yang tinggal tarik saja. Masalahnya, karena banyak turunan ekstrem, kuncian ini kalah melawan gerak turun kaki. Alhasil jebol, agak susah dibukanya.
Jadilah aku meringis setiap kali jalanan menurun. Dari Sabana Lonceng menuju Taman Hidup vegetasi mulai berganti dari pohon pinus ke perdu setinggi sekitar 2 m. Sampai cemoro limo jalanan mulai agak landai. Memutari bukit dan memasuki hutan lumut kakiku mulai membaik. Soalnya jalanan banyak datarnya.
Selepas Pos Cemoro Limo ini aku merasa diphp dengan plang petunjuk saat tak jauh dari puncak Hyang. Harusnya di sekitar Pos Cemoro Limo ini sudah sampai Taman Hidup. Nyatanya masih sekitar 4 km lagi. Awalnya aku membayangkan bakal sampai gelap tiba di Taman Hidup. Membayangkan jalur yang harus dilalui adalah mirip jalur sebelumnya.
Sempat berpapasan dengan tiga pendaki yang berangkat dari Bermi. Dua cowok dan satu cewek. Aku perhatikan sepatu yang cewek sudah ditali sol bagian depannya. Dua-duanya. “Duh, kasihan sekali. Padahal perjalana masih jauh dan menanjak lagi,” batinku.
Posisiku saat itu tertinggal dari rombongan depan, tapi masih agak jauh dari rombongan belakang. Sempat galau antara menunggu sambil jalan pelan atau jalan cepat mengejar rombongan depan. Akhirnya memutuskan mengejar karena hari sudah mau gelap.
Menjadi keuntungan karena yang ada di paling depan rombongan depan adalah Buketu yang imut sehingga ada jeda sejenak ketika harus melewati batang pohon yang ambruk melintang jalur. Kemudian juga ketika menemui turunan agak curam. Dalam kondisi seperti itu aku berucap terima kasih banyak kepada trekpole organik yang kutemukan di pondok setelah pos mata air 1.
Pelan tapi pasti akhirnya aku membuntuti rombongan depan dengan buntut om Gio. Ini bukan rombongan terdepan sebab paling depan ada om Daru dan om Toni. Begitu nempel, aku seperti memperoleh tenaga cadangan. Kontur memang sudah banyak datar dan tanahnya lembek. Sepertinya habis hujan.
Sesekali melirik jam dan terlihat sudah jam lima sore. Tapi meski di kerimbunan pohon jalanan masih terlihat jelas. Sempat mau usul untuk pakai lampu tapi kereta sepertinya sedang on fire. Ngegas terus …. Aku sesekali melihat jam tangan dan tercatat kecepatan jalan kami berkisar di angka 5 km per jam. Sebuah kecepatan rerata berjalan di jalan datar dalam kondisi tanpa beban.
“Hmmm … jika konstan begini terus sampai danau belum gelap ini,” aku membatin,
(Keesokan harinya baru tahu hutan yang kami lewati itu namanya hutan lumut. Bukan karena permukaan hutan tertutup lumut. Bisa kepleset-pleset dong jalannya. Namun lumut-lumut itu menempel di pepohonan yang ada di hutan ini. Ketika turun ke Bermi memang terlihat pepohonan diselimuti lumut.)
Rombongan kami akhirnya tiba di Taman Hidup ketika harus menjelang gelap. Masih bisa mendirikan tenda tanpa penerangan. Begitu tenda berdiri, aku segera meringkuk. Sebelumnya mempersiapkan nasi instan. Harapannya tengah malam aku bangun dan makan.



Kembali aku tertidur pulas dalam balutan kantung tidur Forclaz. Sekitar pukul 02.00 bangun dan makan. Tidak sempat melihat keluar tenda karena malas. Habis makan, kumur, dan diam mendengarkan suara alam. Keramaian di pinggir danau sudah menepi. Tadi sewaktu habis selesai mendirikan tenda terdengar suara keriuhan di pinggir danau. Sepertinya ada rombongan pendaki yang mendirikan tenda di dekat danau.
Taman Hidup ini juga penuh dengan mitos. Terlebih danaunya. Dibandingkan Ranu Kumbolo, aura mistis lekat di Danau Taman Hidup ini. Konon di sini menjadi salah satu tempat bermainnya Dewi Rengganis.
Nah, ketika kabut gelap tiba-tiba menyelimuti danau, disertai hujan dan badai, itu pertanda Dewi Rengganis marah. Bisa jadi ada tindak-tanduk pengunjung yang tak mengena di hati sang dewi. Selain itu, tersebar luas berita dan kabar bahwa banyak pendaki yang hilang di jalur pendakian dan Danau Taman Hidup karena tidak tahu medan perjalanan.
Banyak yang mengatakan bahwa pendaki yang hilang itu dibawa oleh Dewi Rengganis, masuk ke dalam Danau Taman Hidup tersebut. Banyak yang percaya, pendaki yang hilang tersebut digoda oleh dayang-dayang dari sang dewi untuk menceburkan dirinya ke dalam danau. Memang, hanya sedikit petualang yang mempunyai nyali besar dan berani mengambil risiko untuk berenang di danau ini.
Soal kabut tadi, ada mitos lain. Apabila kita berteriak di depannya, maka seketika kabut tebal akan turun dan menutupi pemandangan indah danau tersebut. Mau mencoba?
Dibanding hari pertama, kali ini kami agak santai untuk berkemas-kemas. Perjalanan ke Bermi sekitar 3 jam kata Mas Mul. “Berapa kilometer jaraknya?” Mas Mul selalu menjawab dengan patokan waktu. Tentu ia menjawab berdasar pengamatannya terhadap kecepatan kami berjalan.
Dalam perjalanan kembali ke Bermi baru tahu lumut yang mendekap pepohonan. Hutan hujan tropis yang begitu lembab ini memang menjadi habitat lumut. Pohon-pohon di sini tinggi menjulang.
Aku sempat berhenti di sebuah tempat datar agak tinggi. Ada pohon besar dan plang nama. “Kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang”, begitu judul papan nama itu. Di bawahnya ada larangan-larangan yang harus dipatuhi saat berada di kawasan ini.
Selepas ini jalanan turun terus dan terlihat jalur motor. Ah, ini motor trail atau ojek? Kalau melihat corak gerusan tanah sih ojek. Mengikuti jalur ojek ini memang terasa mengasyikan. Berkelak-kelok. Hanya saja karena habis hujan relatif licin. Untuk menghindari kelicinan itu, ada jalur pejalan kaki. Memotong. Terkadang harus melewati undakan akar-akar dengan jarak undakan relatif tinggi. Jurus jongkok tak jarang dikeluarkan. Tak apalah, dari pada terpeleset.
Di jalur ini aku di belakang om Wiko dan jadi saksi beberapa kali terpeleset. Jalur ini mengingatkanku akan jalur pendakian G. Gede di Jawa Barat via Gunung Putri.
Di akhir tutupan vegetasi, kita akan berjalan di hutan pohon damar. Jalur setapak sudah mulai dibeton di sini. Ojek juga sudah menawarkan jasanya jika berminat. Ongkosnya Rp50 ribu sampai Bermi. Sempat ngobrol dengan pengojek di sini dan ketika aku bercerita soal kengerian naik ojek di Baderan, mereka kompak menolak disamakan dengan pengojek di Baderan.
“Kami tidak ugal-ugalan membawa penumpang. Ada kartu anggota. Siapa yang ketahuan ugal-ugalan bisa dikenai sanksi,” kata salah seorang pengojek sambil mengeluarkan kartu anggota.
Toh aku gak berminat. Cukup sudah di Baderan.
Oya, di Bermi ini kita akan melintasi Bermi Eco Park, taman wisata murah meriah yang dikelola oleh Bumdes Bermi. Saat aku lewat ramai pengunjung. Maklum hari Minggu.
Kami tiba di basecamp Bermi sesuai target. Sebelum jam satu siang. Setelah makan dan mandi, kami pun naik Elf menuju Surabaya.
Sedikit drama terjadi dalam perjalanan ke Surabaya ini. Awalnya mau menjajal lontong kerang. Sopir tahunya di Bangil tetapi sebagian besar dari kami ingin lontong kerang di Surabaya. Alhasil, sudah lewat Bangil tapi makannya lontongnya tidak jadi.
Eh, ketika di Surabaya, mengandalkan aplikasi Google Maps menuju Lontong Kerang tersasar di sebuah jalan buntu. Posisi warung ada di sebuah gang. Sempat terjadi debat kecil sebelum akhirnya balik arah dan menuju ke Stasiun Pasar Turi.
Aku sempat mau komentar, coba pakai aplikasi Waze. Tapi gak mau memperkeruh perut yang sudah kelaparan. “Nanti makannya di dekat stasiun aja. Sambil bawa keril gak masalah,” terdengar suara saran dari belakangku.
Kami pun tiba di Stasiun Pasar Turi dan segera berkemas. Eh, aku naik keretanya lain sendiri. Dari Stasiun Gubeng. Nah, di sini aku pun mengalami drama yang tak kalah serunya.
Sama Pak Sopir Elf diturunkan di Stasiun Gubeng Lama. Karena masih lama (tiba di Stasiun Gubeng sekitar pukul 19.00 sementara kereta yang akan aku tumpangi baru berangkat pukul 23.10. Sambil menunggu aku pun mengecas ponsel yang sudah kehabisan daya. Awalnya depan colokan dikuasai mbak-mbak yang mau ke Malang. Begitu kereta ke Malang mau berangkat, langsung sepi.
Sekitar pukul 21.00, ruang tunggu mulai sepi. Aku didatangi petugas keamanan dan ditanya mau ke mana. Ketika aku jawab mau ke Jogja, “Oh, bukan di peron sini. Tapi di seberang sana. Gubeng Baru. Peron ini mau ditutup karena kereta lokal sudah berangkat semua.”
Bergegas aku berkemas-kemas. Ketika itu aku sedang mengetik di laptop. Lampu ruang tunggu sudah dimatikan. Aku memasukkan laptop di tas ransel dan segera mengangkat keril di belakang dan tas ransel di depan.
Ketika menuju ke peron Gubeng Baru, lewat Indomaret. Aku pun masuk dan ingin membeli minuman dan penganan untuk mengganjal perut ketika di kereta nanti.
Saat mau bayar pakai aplikasi, kaget. La ponselku enggak ada. Langsung teringat tadi aku ngecas ponsel dan karena buru-buru hanya kepala dan kabel charger yang kumasukkan. Bergegas kembali ke peron Gubeng lama dan kebetulan ada petugas keamanan yang sedang mengunci pintu peron.
Aku lega ketika menemukan ponselku masih tergeletak di kursi tempat aku duduk tadi.
Tak terbayangkan kalau hilang. Aku belum sempat mencetak tiket dan info soal itu ada di ponsel.
Ah, di awal dan akhir pendakian Argopuro ini aku harus senam jantung ternyata.







