gussur.com – “hidup adalah soal keberanian.
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Mandalawangi Pangrango – Soe Hok Gie
Kata Mandalawangi menyeruak dalam WA-ku pada Rabu 16 November 2022. Pengirimnya Cikgu yang menanyakan apakah mau ikut ke Mandalawangi pada Sabtu minggu itu. Belum terbersit itu adalah nama lembah edelweis di Puncak Pangrango. Maka aku pun bertanya setelah sedikit tahu konteksnya. Mandalawangi Pangrango? Setelah dijawab iya aku pun mengiyakan ajakan tadi.
Hampir saja aku membatalkan ajakan itu manakala Jumat 18 November 2022 sudah lewat tapi pekerjaan belum selesai. Sudah mengetik pesan pembatalan ketika pekerjaan selesai pada 01.06. Dengan kesepakatan kumpul pukul 04.00 di bilangan Sudirman Jakarta, aku pun menghapus pesan pembatalan tadi.
Aku segera mengepak barang-barang yang sebelumnya sudah kusiapkan. Termasuk sleeping bag karena Cikgu berpesan untuk membawa sleeping bag mengantisipasi jika jalanan macet sepulang dari puncak Pangrango dan menginap sementara di warung jujugan. Ingat sleeping bag malah aku melupakan sarung tangan yang sebenarnya sudah aku siapkan pula. Balik Jakarta sekitar pukul 03.00.
Entah berapa lama terlelap tidur, sekitar pukul 3.15 aku sudah bangun. Masih 15 menit dari alarm yang kuset, tapi aku malas melanjutkan tidurku. Takut malah kebablasan dan tidak mendengar dering alarm. Jadi aku segera melakukan ritual tiap bangun pagi. Sekitar 3.58 aku sudah di atas ojek menuju tikum.
Kali ini datang tanpa menimbulkan waswas teman seiring. Dibandingkan waktu ke Salak, yang ikut ke Pangrango ini lebih banyak. Ada Om Daru, Om Mamat, Om Cepi, selain Bunda sebagai pemasok logistik. Ini mirip tim waktu mendaki ke Arjuno Welirang. Satu lagi Om Abdul ketemu di Cibodas.
Sekitar 4.35 akhirnya kami berangkat. Aku duduk di kursi belakang dengan kaki menyamping, merengkuh ransel, dan mencoba membungkus calon mimpi yang hampir bertunas kala tidur di rumah tadi. Tak bisa nyenyak tentu, tapi lumayan membantu memulihkan tenaga. Lamat-lamat aku mendengar obrolan teman-teman. Namun antara sadar dan tidak, sehingga tidak ikut nimbrung. Takut salah omong kan bisa berantakan mimpiku.
Baru tersadar ketika Cikgu menyinggung Mang Ade. Ini warung di puncak yang menjadi basecamp para pesepeda. Aku lantas teringat tentang warung ini yang sudah sangat berubah dibandingkan awal-awal suka bersepeda offroad di seputaran Puncak.
Perjalanan relatif lancar dan kami pun sudah siap memuncak Pangrango pada pukul 7.10. Sebelumnya aku sudah mengganjal perut dengan mie instan rebus plus satu telur. Juga berbekal roti lapis yang aku tenteng.
Seperti dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, Cikgu dan Om Daru jadi leader. Aku mencoba mengikuti mereka tapi akhirnya keteteran sebelum Telaga Biru. Regrouping di Pos Panyangcangan, sebelum akhirnya tim tercerai berai lagi sekilo setelah itu.
Aku mulai merasakan efek kurang tidur menjelang menyeberang air panas. Ada warung di situ dan sempat tergoda meneguk segelas kopi hitam. Namun bisa jadi malah keasyikan dan berhenti lama. Melewati air panas setidaknya menyegarkan badan dan kaki. Toh selepas Kandang Batu kantuk kembali membelaiku. Aku membayangkan nanti pas ikut UM-ITB hari kedua kira-kira begini. Jam tidur kurang, masih harus berlari. Jadi ingat dengan Run to Care Medan. Sempat jalan sambil memejamkan mata.
Jalanku mulai terseok-seok. Beruntung kontur tidak menanjak galak. Jadi masih bisa kukontrol langkah kaki. Ketika sampai Kandang Badak, aku lihat Cikgu dan Om Daru sudah menunggu. Juga Om Abdul yang lupa menyalipku di mana. Cukup lama kami berhenti di sini. Mengobrol dengan pendaki lain yang kebetulan berhenti di warung itu. Aku akhirnya bisa meneguk secangkir kopi di sini.
Lebih dari setengah jam menunggu rombongan belakang, akhirnya kami bersepakat untuk lanjut lagi. Dari Kandang Badak ini bertemu dengan perempatan. Lurus ke Puncak Gede, ke kiri jalan larangan, ke kanan Puncak Pangrango.
Soal jalan ke kiri, Om Daru pernah bercerita kalau itu bisa tembus di bawah kawah G Gede. Sempat terwacana selesai summit Pangrango menengok jalur itu.
“Tapi sekarang sudah ada larangan tidak boleh lewat,” kata Om Daru.
Wah … alamat gagal deh.
Jalur ke kanan ke Puncak Pangrango baru kali itu kulewati. Belum sampai sekilo sudah ada pohon tumbang melintang jalur setapak. “Ya begini nanti jalur ke puncak,” kata Om Daru.
Memang, sepertinya dibandingkan dengan jalur ke Puncak Gede menuju ke Puncak Pangrango mesti berupaya lebih. Setelah semakin masuk ke dalam, aku mulai membayangkan jika membawa keril. Apa ini yang membuat pendaki malas membuka tenda di Puncak Pangrango dibandingkan Puncak Gede? Ternyata jawabannya tak hanya soal jalur. Tapi juga soal lain yang nanti kuceritakan di bawah.
Jalur ke Puncak Pangrango sepertinya berawal dari jalur air. Ketika semakin lama jalur air ini semakin dalam dan terkadang meninggalkan undakan yang tinggi, terus mencoba menjadi jalur di kiri-kanan. Namun ujung-ujungnya nanti kembali ke jalur air. Mirip dengan jalur ke Salak via Cimelati. Hanya saja, melihat bekas jalur air ini, sepertinya air yang mengalir dari Puncak Pangrango ketika hujan sangat deras.
Beberapa aku harus membungkuk melewati batang pohon yang tumbang. Juga melewati jalur air yang sudah semakin dalam membentuk selokan dengan lebar tak lebih dari ubin lawasan. Karena banyak jalur tadi, kami kemudian terpisah. Beruntung aku mengekor Om Daru yang dengan setia menunggu di beberapa titik ketika aku hilang dari radarnya. Juga mengambil beberapa foto seperti di bawah ini.
Tutupan hutan di sini juga rapat. Begitu juga dengan pohon-pohon cantiginya. Pohon kebahagiaan menurutku sebab ketika sudah bersua pohon ini, puncak tak lama lagi sampai.
Triangulasi Puncak Pangrango bentuknya tugu setinggi sekitar 2 m. Di sebelahnya ada shelter dengan separo atap hilang, dan dudukan salah satu tiang hilang. Sehingga tiang pendukung ini menggantung, mengandalkan “belas kasihan” ketiga tiang lain yang masih punya dudukan.
Pelataran triangulasi tidak terlalu luas. Paling sekitar 20 m2, dengan kontur agak menurun. Siang itu pemandangan yang ada hanya “tembok” saja. Jika cuaca cerah dengan membelakangi tugu triangulasi kita bisa memandang Puncak Gede, sama seperti ketika kita berdiri tak jauh dari triangulasi Puncak Gede bisa memandang Pangrango.
Siang itu matahari on-off memancarkan sinarnya. Cukup membantu tanganku yang beberapa ujung jari mulai terasa membeku. Jadi aku sesekali memasukkan telapak tangan ke dalam saku celana demi memperoleh kehangatan. Di sini letak penyesalanku tidak mengecek lagi barang-barang yang kubawa.
Begitu Om Abdul sampai, kami segera membuka bekal masing-masing. Nasi yang dibungkus daun pisang. Lauknya teri kacang dan sambal pete dari Om Abdul. Karena teri kacangnya cukup pedas, aku ambil sedikit saja. Untuk sambalnya aku “menculik” pete-petenya. Bumbu paling top adalah rasa lapar dan satu bungkus nasi ternyata kurang.
“Dulu kami minta dibungkuskan nasi. Agak besar sedikit, tapi padat. Ternyata banyak yang gak habis. Makanya kami minta dikurangi ukurannya,” kata Cikgu. Hmmm… jangan-jangan kepadatannya dikurangi juga. Kalau tulang kena osteoproosis nih. Mirip-mirip kami yang sudah mulai berumur.
O ya berbeda dengan tugu triangulasi G Gede, tugu triangulasi Pangrango ini agak tersembunyi dari jalur pendakian. Soalnya tutupan di sekitar tugu ini rapat. Mirip pitak di kepala yang masih punya rambut tebal. Eh, pitak di kepala botak gak bisa dibedakan juga ya? Makanya ketika ada tanda-tanda orang datang, kami mengira rombongan kami. Ternyata beberapa kali rombongan datang, bukan rombongan kami. Nah, jika sudah begitu, kami pun bertanya. “Apakah melihat bla … bla … bla? Masih jauh bla…bla….”
Ketika akhirnya yang ditunggu datang, kami pun dapat sepotong apel. Lumayan mengganjal perut. Apalagi apelnya juga ikut-ikutan dingin.
Sembari menunggu yang lain makan, aku turun ke Mandalawangi. Aku kira tadi ke Mandalawangi beramai-ramai. Ternyata sebagian besar sudah tidak berminat lagi. Jadilah aku ditemani Om Daru, dan kemudian disusul Om Abdul menuju ke Mandalawangi.
Jaraknya tidak terlalu jauh dan medannya ramah kaki yang sudah kecapaian. Beda banget dengan Alun-Alun Suryakencana (Surken) yang menjadi sejoli Puncak G Gede.
Meski jauh luas dibandingkan Surken (luasnya sekitar 50 ha, sedangkan Mandalawangi sekitar 5 ha), namun menurutku lebih berkesan Mandalawangi. Small is beautiful, bisa jadi karena alasan itu. Namun suasana berbeda ketika Om Daru menunjukkan tempat biasa berkemah. “Di sebelah sana ada tempat datar. Biasa untuk kemping. Kalau sumber air di sebelah sana,” kata Om Daru menunjuk dua arah yang berlawanan.
“Agak spooky ya,” kata Om Abdul saat memasuki tempat untuk berkemah. Kesan yang kutangkap juga saat aku sendirian tadi masuk ke sini. Tempat itu memang luas dan agak datar dibandingkan di lembah Mandalawangi tadi. Juga terlindungi tutupan pohon cantigi dan pohon entah apa namanya. Tiga pohon raksasa, satu di tengah tempat yang luas tadi, dan dua di sisi berdekatan, dengan lumut tebal membalut batang dan dahan memang mengingatkan pada pemandangan film horor. Belum air yang menetes dari lumut-lumut itu menimbulkan bebunyian ditingkahi deru angin.
Tak lama di Mandalawangi karena waktu memburu. Segera kembali ke tugu triangulasi untuk bersiap-siap kembali. Berfoto keluarga di tugu menjadi kalimat terakhir kami dalam menulis kenangan Puncak Pangrango. Semoga suatu ketika bisa berkemah di Mandalawangi.
Turun tak semudah naik juga. Butuh kehati-hatian agar tak kepleset atau jatuh mencium akar atau tanah. Aku tidak tahu apakah jalur turun sama seperti jalur naik tadi. Yang penting kaki mengarah turun. Membayangkan kalau turun pas hujan mengguyur kawasan ini. Pasti celana basah karena mau tak mau harus jongkok untuk titik-titik tertentu dan air deras dari belakang siap “mendorong” tubuh.
Sampai Kandang Badak aku tidak melihat Om Daru dan Cikgu. Tanya ke tukang warung tempat nongkrong pas naik tadi, dijawab sudah turun. Wah, ya sudah. Aku pun bergegas turun. Kali ini mencoba nonstop sampai tempat parkiran. Menguji seberapa jauh hasil latihan bersama Koch Sem, yang aku persiapkan juga untuk mengikuti lomba lari ultra UM-ITB awal Desember nanti.
Dalam keheningan menuruni jalan berbatu-batu itu aku baru tersadar. Ternyata ada burung gagak yang seperti memandu langkahku. Aku lupa persisnya, tapi setidaknya lima kali menjumpai burung gagak itu tiba-tiba sudah ada di depanku. Sejak lihat pertama sudah aku ajak ngomong. Sepertinya gagak itu perhatian. Pikirnya siapa orang gila ngajak ngomong aku hehe ….
Di catatan segment Strava, ternyata dari Kandang Badak sampai gerbang pendakian dengan jarak sekitar 7,2 km itu aku mencatat waktu 2 jam 22 menit. Bukan soal waktu, tapi aku merasa tidak ada rasa pegal atau terlilit kram selama turun itu. Hanya ujung-ujung jari saja terasa sakit karena ukuran sepatu yang kurang lega.
Nah, justru memperoleh masalah ketika mencari warung tempat ngumpul tadi pagi. Sudah bertanya-tanya tapi belum dapat arahan pasti akhirnya telepon Cikgu yang kebetulan duduk di luar warung sehingga bisa melihat aku yang kebingungan mencari arah.

Turun lebih cepat daripada muncak. Aku segera melakukan peregangan dan kemudian memesan makanan. Habis itu mandi dengan air dingin.
Ketika merebahkan tubuh aku membayangkan bagaimana jalur ke Mandalawangi Pangrango dulu saat Gie sering mendaki. Ada rentang 50 tahun lebih. Mandalawangi lekat dengan sosok Gie. Baik sebagai bagian dari komunitas Mapala UI atau sebagai pribadi. Mapala sering mengadakan kegiatan di sini, termasuk jambore. Di sini pula sisa abu Soe Hok Gie yang meninggal pada 16 Desember 1969 disebar ke segala penjuru Mandalawangi.
Soe Hok-Gie memang sempat dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta sebelum abunya dibawa ke Gunung Pangrango pada 17 Desember 1975. Mantan wartawan Harian Kompas, Jimmy S. Harianto dalam tulisannya di buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi menulis abu jasad Soe Hok-Gie ditabur di Lembah Mandalawangi. Abu jasad Soe Hok-Gie diantar ke Lembah Mandalawangi oleh 35 orang pendaki yang berasal dari Jakarta, Bogor, dan Bandung termasuk Jimmy.
“Satu-satu, telapak tangan itu diisi dengan abu tulang Soe yang putih kecoklat-coklatan dan abu-abu. Setelah di atasnya ditaburi bunga, abu ditaburkan ke segala penjuru lembah ke arah yang mereka suka,” tulis Jimmy dalam artikel berjudul “Hok-gie ke Pangrango untuk Hilang,”.
Pangrango juga menarik bagi peneliti. Pendaki pertama yang berhasil mencapai Puncak Mandalawangi (Gunung Pangrango) adalah dua orang peneliti asal Belanda bernama Kuhl dan Van Hasselt. Mereka berkirim surat kepada Reindwart, teman mereka yang pendiri Kebun Raya Bogor (KRB). Keduanya berkabar telah mencapai Puncak Mandalawangi pada Agustus 1821. Mereka menuturkan bahwa perjalanannya menuju puncak dimudahkan oleh jalur yang telah dibuat oleh badak jawa di sana. Jalur tersebut dimanfaatkan untuk menembus lebatnya hutan Gunung Pangrango saat itu.
Gunung Pangrango memang telah banyak menarik perhatian para ahli dan peneliti. Tanahnya yang subur menghamparkan hayati yang beraneka ragam. Peneliti Thunberg malah meneliti dalam jangkauan yang lebih luas lagi pada 1777, yakni kawasan wilayah Gede-Pangrango.
Jalur Cibodas digunakan pertama kali oleh Blume. Kemudian ahli botani asal Inggris yang terkenal, Wallace mengikuti jejak Blume ini.
Aku beruntung, pada akhirnya bisa menggenapkan kata Gepang, Gede-Pangrango, dalam satu helaan napas. Bersyukur bahwa kemarin tidak ditemani hujan. Namun justru hujan mendahului langkahku, terlihat dari jejak-jejak batu yang masih basah. Mengingatkan aku untuk berhati-hati.
Hidup memang tentang keberanian menghadapi yang tanda tanya. Namun kehati-hatiaan adalah teman sejatinya.





Mantap…
terima kasih om…
salam kenal dan terima kasih sudah berkunjung ke blogku.