gussur.com – “COT jam berapa ya?” meski sudah tahu tapi aku iseng bertanya saja. Waktu itu sekitar pukul 09.10. Aku barusan menyentuh WS15, WS terakhir sebelum finish di Sabuga Bandung. Aku sudah berlari sekitar 170-an km dalam event ITB Ultramarathon 2022 ini. Sudah melewati jarak terjauhku di Run to Care Toba – Medan yang sekitar 159km.
“Jam 12. Dtambah 1 jam karena ada kasus pembegalan kemarin,” kata mbak-mbak di WS15.
Langsung seketika hatiku anyep. Harapan untuk selesai di bawah batas waktu membuncah. Menjadi yakin bahwa aku bisa!
Sebenarnya tanpa ditambah aku pun meyakini bisa. Hanya saja tubuh harus di-push to the limit. Ketika di WS14 Situ Ciburuy aku tinggal punya waktu 3,5 jam agar bisa sampai di Sabuga sebelum pukul 11.00. Total jarak tersisa 23 km. “WS14 – WS15 12,5 km. Terus ke Sabuga sekitar 10-an km,” kata penjaga WS 14.
Aku pun berhitung, 2 jam untuk menyelesaikan WS14 – WS15 dan sisanya untuk sampai finish. Ternyata WS14 – WS15 bisa di bawah 2 jam. Jadi ada tambahan waktu. Jadi bertambah manakala dengar kabar “berkah akibat musibah” tadi.

***
Bukan kali pertama aku harus waswas dengan COT. Dulu pas ikut Relay 2 ajang yang sama, juga mepet COT. Ada semacam peziarahan batin ketika harus membawa beban ke batas yang diinginkan.
ITB UM 2022 menjadi upacara kenaikan kelasku dari sebelumnya yang Relay 2 di 2019 tadi. Berbekal Run to Care aku pun meyakini bisa selesai. Juga latihan dengan Kots Sem dari Skolari.
Tapi kendala berasal dari faktor luar. Tiba-tiba aku diserang kantuk yang luar biasa setelah melewati jarak HM. Aku berpikir apakah karena makan terakhir terlalu mepet sehingga tenaga masih digunakan untuk mencerna makanan? Tapi mengapa kantuk masih saja menyerang meski sudah tidur cukup lama? Dari catatan Strava, ada waktu istirahat 15 jam lebih. Dipotong message empat kali masing-masing setengah jam, maka istirahat dan tidur menghabiskan waktu lebih 13 jam. Lantas aku membayangkan kalau istirahat dan tidur cukup 5 jam ada defisit 8 jam. Sehingga total waktu menempuh Jakarta – Bandung 31 jam. Tak jauh dari perkiraan awalku yang 30 jam.
Kantuk terberat aku alami ketika meninggalkan WS13. Padahal aku sudah sempatkan merebahkan tubuh di warung Bu Ela itu. Ada sekitar 15 menit. Tapi begitu bangun dan mulai berlari, biasanya masih kuat untuk jarak 5 km. Ini baru beberapa meter saja langsung oleng. Bisa jadi karena jalanan menanjak.
Hanya jalan yang bisa kulakukan sambil sesekali sempoyongan. Sempat melipir lagi di kios penjual buah alkesa. Mak lep, dan agak geragapan ketika ada bapak-bapak sudah duduk di sampingku. Ternyata dia yang punya warung dan mau buka warungnya. Aku bangun, berucap terima kasih dan maaf tidak permisi (tapi permisi ke siapa wong tadi kosong gak ada penghuni).
Lumayan dapat tenaga baru, dan melihat SPBU di sisi kanan jalan aku pun bergegas ke sana. Sudah saatnya buang hajat. Sekalian mau beli Kratingdaeng di Alfamart sebelahnya. “Minum Kratingdaeng aja biar tidak ngantuk,” begitu saran Bapak-bapak yang menyopiri mobil pikap pengangkut logistik ITB UM ketika kami bertemu di WS10. Saran itu kuabaikan karena aku sudah lama sekali tidak minum minuman suplemen seperti itu. Takut kenapa-kenapa malah bikin pelarian ini berantakan.
Now or never. Begitu saat aku selesai buang hajat yang ternyata begitu susah kali ini. Kaki sudah begitu kaku sementara WC SPBU model jongkok. Untuk jongkok saja harus berpegangan ember dan juga tembok WC.
Akhirnya aku ambil keputusan minum Kratingdaeng. Di pagi yang mulai menyemburatkan sinar mentari itu aku menenggak minuman cap Banteng. Jadi inget ketika pertama kali menenggak minuman cap Tikus hehe….
Bener saja. Kantuk langsung hilang beberapa saat kemudian. Aku pun kembali merayapi tanjakan berkelok Citatah.
Ketika puncak tanjakan terlewati dan jalanan menurun aku gas pol menuju Situ Ciburuy WS14. Minta dipijat untuk terakhir kali aku biar bisa tambah gas menuju WS15.
Begitulah, ternyata di WS15 dapat kabar menggembirakan tadi.

***
Serba mepet COT(P) menjadi pengingat ultra marathon kali ini. Hanya di WS4 yang menjadi CP1 aku memiliki waktu lega. Sayangnya ada tragedi menggelikan di sini. Di WS4 ini aku mengirimkan tas berisi jersey dan sepatu ganti. Soalnya setelah berlari sekitar 40 km telapak kaki akan mengembang. Jadi butuh sepatu dengan desain lebar di depan. Sepatu itu yang kukirim ke WS4 ini.
Ternyata panitia salah memasukkan ketika aku menaruh empat tas di Titik Start. Di sini pun sempat terjadi ketegangan ketika aku mau menaruh tas yang akan dikirim itu dikatakan sudah tutup. “La nggak ada keterangan dropbag tutup jam berapa. Lagian ini masih sejam sebelum start,” sergahku. Petugas pun sedikit ogah-ogahan. Bisa jadi karena itu terjadi salah masuk.
Nah tas untuk WS4 ternyata dimasukkan ke tas untuk WS16 atau di titik finish. Sementara tas finish itu dimasukkan ke WS4. Tentu saja tidak ada sepatu sebab di finish aku biasanya nyeker. Sudah tidak lagi berlari mengapa harus bersepatu?
Dengan memaksa tetap menggunakan sepatu yang sempit bagian depannya sementara telapak kaki mulai mengembang, maka kesakitan mulai kurasakan ketika sampai di WS5 Taman Malabar Bogor. Aku segera membuka dan minta terapis memijat telapak kaki. Cukup lama istirahat di sini sembari tidur.
Jalur Tajur – Ciawi menjadi jalur awal peziarahan. Bertanya pada diri sendiri, menengok masa lalu, menerawang masa depan. Panas mulai membasuh tubuhku dan godaan es teh manis tak bisa aku tolak. Beli es teh manis plastikan langsung menjadi hiburan mulut melawan hawa panas matahari.
Tak lagi kantuk musuhku sekarang. Hawa panas dan tanjakan bersatu menyerang keyakinanku. Sudah benarkah latihanku selama ini? Jika COP WS4 nyaman aku kejar, kini COP WS8 seperti jauh di awang-awang. Raga masih kuat tapi jiwa mulai meronta-ronta.
“Ojek …,” tiba-tiba saja seorang tukang ojek sudah berhenti di depanku.
“Gak, kalau mau naik motor di belakangku ada,” kataku sambil menoleh. Eh ternyata tukang ojek pengawalku sudah ada di depan.
Di jalur menuju WS8 ini entah untuk keberapa kali aku beli es teh manis. Dan sekali es kelapa muda. Yang berbahaya ketika jalur menjadi satu arah ke bawah. Ke Jakarta. Kendaraan langsung pada tancap gas. Yang membuatku waswas, banyak motor naik ke atas yang seharusnya tidak boleh. Toh mereka kenceng-kenceng juga mengendarainya. Ketika ternyata dua jalur jalan dipakai mobil ke arah Jakarta, para penyerobot jalur ini otomatis menepi dan beberapa kali nyaris menyerempet tanganku.
Sampai akhirnya di tikungan terakhir betapa senangnya diriku. Langsung lapor panitia, menuju ke dropbag, dan mencari mobil Sam terapisku. Ganti baju dan menyiapkan sepatu. Waswas dengan sepatu sebab sebenarnya ini sepatu cuma sampai CP 3 atau WS12 saja dan ganti sepatu yang seharusnya dipakai dari CP1 (WS4) ke CP2 (WS8) ini. Tapi ya sudahlah. Lihat saja nanti.

***
Paruh kedua ITB UM ini aku jadikan sebagai paruh pembalasan dendam. Setidaknya sampai Citatah konturnya dominasi turun. Namun aku juga tahu diri, jaraknya masih panjang. Jadi gas pelan-pelan dulu.
Begitu lewat perbatasan Bogor – Cianjur aku mulai memanaskan dengkul. Hotel Puncak Pass menjadi awal mulai berlari lagi. Sekitar 3 km menurunkan pace. Begitu berulang-ulang sampai ketika tubuh nyaman maka saya berlari sepanjang turunan.
Dari Melrimba sekitar pukul 16.00, gelap mulai menyapa ketika sudah di ujung tanjakan Cipanas. Aku segera memakai headlamp. Tapi baru sadar kalau pengawalku tidak mengikuti. Sisa-sisa hujan masih membekas. Bahu jalan kadang tergenang air yang meluber dari selokan mampat. Sampah-sampah berserakan. Terutama sampah plastik. Karena gelap minim penerangan lampu jalan, maka head lamp kuarahkan ke belakang dengan mode flashlight. Takut kesamber kendaraan karena aku kelupaan bawa lampu kedip untuk di belakang.
Untuk panduan jalan ke depan, beruntung marka jalan masih bagus. Cukup lama lari sendirian di jalur gelap ini sehingga akhirnya aku membuka ponsel dan WA tanya teman-teman kok pengawalku tidak kelihatan. Tak lama berselang ada telepon masuk dari pengawalku. Mengabari kalau dia habis salat.
Sungguh beruntung aku sebab ketika pengawal datang membuntutiku tak lama kemudian hujan turun. Aku makin kesetanan dalam berlari. Melewati tikungan tajam berkelok yang mistis menjadi teringat ketika naik sepeda Bandung – Jakarta. Sampai di sini sore hari dan sepertinya ada yang gondeli pas gowes.
Tak jauh dari turunan mistis ini aku dengar ada yang manggil-manggil dari seberang jalan. Tapi aku terlalu fokus ke jalanan. Tak seberapa lama orang tadi sudah di belakangku. Ternyata peserta lari juga. Mas Haenri TK85. Kami pun berbarengan dan saling ngobrol.
“Masih kuat lari Mas?” tanyanya.
“Karena hujan jadi harus lari biar gak dingin. Apalagi turunan,” kataku.
Di WS11 aku minum jahe anget. Sementara Mas Haenri aku lihat lari duluan. Hujan sudah tidak begitu deras. Aku mencoba membuka jaket. Lantas berlari mengejar COP WS12.
Di tengah jalan aku menyalip Mas Haenri. Agak kaget dia karena mengira aku sudah di depan.
(Belakangan baru aku tahu Mas Haenri menjadi korban pembacokan saat melintasi jembatan Ciranjang. Ketika tertidur di WS12 aku terbangun oleh suara ambulans dan kaget melihat salah seorang peserta Ferris Yulianto kena sabet di pergelangan tangan tak jauh dari WS12.)
Dari kasus pembacokan itu, panitia menawarkan pengawalan ketika aku siap-siap start dari WS12. Namun aku sudah membawa pengawal sendiri sehingga tawaran panitia aku tolak.

***
WS12 ke WS13, lanjut WS14 kontur jalan mulai menanjak. Menuju Citatah dengan tebing-tebing kapur di kanan kiri yang sayangnya aku lewati pas dini hari.
Awalnya masih bisa lari ketika jalanan datar atau tanjakan tipis. Turunan wajib lari agar COT terkejar. Namun lama kelamaan kantuk mulai menyerang kembali. Perut juga mulai mual. Rasanya pingin muntah.
Konvoi motor RX King yang bersliweran membuatku sedikit terjaga. Warung-warung yang masih buka dan keramaian di jembatan Rajamandala menguji batinku untuk mampir menikmati es cincau. Setiap gowes Jakarta – Bandung atau sebaliknya, titik ini menjadi titik wajib berhenti.
Selepas jembatan agak kaget ternyata kehidupan lebih meriah meski di dalam ruangan. Ya, banyak kafe di pinggir jalan setelah jembatan Rajamandala ini. Di jelang waktu lingsir tengah malam ini masih terlihat teteh-teteh berdandan menggoda keluar rumah dan berjalan menuju kafe-kafe tadi.
Sementara aku kelelahan dan ngantuk menyusuri jalan.
Apa yang kamu cari Gus?
Kombinasi lari jalan lari tetap aku praktikkan. Bahu jalan yang dibeton membuat nyaman untuk bergerak. Meski sambil sempoyongan tidak membuatku khawatir celaka.
Sampai di WS13 aku rebahan sebentar. Di depan ada tanjakan terakhir. Tanjakan penentuan apakah aku cukup kuat menyelesaikan ultramarathon ini atau menyerah.
Dan Kratingdaeng menjadi salah satu penyelamatku. Keputusan yang tepat.
Finish di Sabuga menjadi sebuah katup pelepas semua kelelahan dan kecapaian sepanjang Jakarta – Bandung.
Sambutan di finish dari teman-teman memang di luar perkiraan. Melewati garis finish aku langsung disuruh naik mamanukan. Prosesi yang biasanya untuk anak sunatan. Ya, memang aku bisa dibilang habis disunat. Ada yang hilang dari tubuh ketika menyusuri jalan Jakarta – Bandung. Ketika sampai rumah dan menimbang badan, tubuhku berkurang 3 kg!
Terima kasih semuanya.




















