gussur.com – Ada sesuatu yang memikat dari garis pantai selatan Australia. Ia seperti memanggil pelan — lewat hembusan angin bergaram, batu-batu karang yang menua, dan jalan berliku yang seakan dirancang untuk memperlambat laju siapa pun yang melintasinya.
Maka, ketika usai mengikuti lomba lari maraton di Sydney, kami pun menyusun rencana untuk menyusuri jalur legendaris di Australia: Great Ocean Road. Tujuan kami adalah Adelaide. Karena tak banyak waktu, perjalanan pun dimulai dari Melbourne. Sydney – Melbourne ditempuh menggunakan kereta api yang lama perjalanan hampir setengah hari.
Awalnya mencari perjalanan pagi, ternyata rencana tidak memihak. Jadinya perjalanan malam. Kereta yang kami tumpangi tak jauh berbeda dengan kereta di Indonesia. Malah terkesan lebih kuno di sini.
Hari Pertama — Dari Melbourne ke Princetown
Kami merencanakan memakai mobil caravan, dan menginap di campsite. Berpikir lebih murah, ternyata tidak juga. Namun selalu ada pengalaman di setiap hal baru. Jadi lebih tahu apa bedanya campsite yang powered dan unpowered. Juga ternyata ada kelas-kelasnya setiap campsite. Tentu berkaitan dengan fasilitas yang ada. Dan beruntungnya, kami bisa merasakan kelas-kelas itu.
Sempat kagok ketika menyetir di belantara kota Melbourne. Maklumlah, kebiasaan nyetir di keseharian Jakarta yang seperti masuk hutan rimba. Begitu di Melbourne harus taat aturan. Beberapa kali terjebak aturan sehingga harus memutar atau balik arah. Namun begitu keluar Melbourne, masuk ke jalan M1, kekagokan itu langsung memudar. Hiruk pikuk lalu lintas dan bangunan berubah menjadi hamparan ladang pertanian dan peternakan. Perbukitan dengan rumput hijau, dan di kejauhan noktah-noktah hitam yang tak lain sapi perah, menyejukkan mata. Kalau di Indonesia pasti langsung menepi dan ambil foto. Sayang, banyak rambu-rambu tak boleh berhenti.
Selama perjalanan ini kami belum memutuskan menginap di mana. Yang jelas sebelum Twelve Apostles, tujuan pertama kami melintasi Great Ocean Road. Ketika memutuskan menginap di Princetown Recreation Reserve, yang bisa dibooking via daring, tak lebih alasannya karena dekat Twelve Apostles dan murah. Sudah menjelang gelap kami tiba di campsite ini. Kantor pengelola sudah tutup. Tapi via surel kami sudah dikasih tahu lokasinya.
Campsite ini sederhana tapi menenangkan. Hamparan padang hijau luas membentang di tepi sungai kecil, dengan beberapa kanguru yang melintas santai di senja itu. Ternyata kangguru itu bermalam di lapangan bundar berpagar, dengan “kamar-kamar” penginapan di sisi lingkar luarnya. Ada patok-patok bernomor, dan penyewa akan memarkirkan kendaraannya sesuai nomor yang dipesan. Di patok itu colokan dan kran air di bawahnya. Nah, kalau kita memesan yang unpowered, berarti tidak ada colokan listrik.
Campsite ini memang minimalis. Fasilitasnya dasar — air bersih, dapur umum dan tempat cuci koin, kamar mandi berair panas, serta area luas untuk parkir caravan. Akan tetapi, justru di situlah daya tariknya: kesunyian dan langit penuh bintang.
Malam itu, setelah cuci muka dan gosok gigi, aku pun merebahkan tubuh yang lelah. Usai maraton pinggang yang cedera mulai kambuh. Agak terasa sakit untuk bergulir ketika tidur. Dari tenda di atas mobil, sesekali aku melihat keluar. Beberapa kangguru terlihat sudah tidur.
Hari Kedua — Twelve Apostles dan The Grotto
Selesai sarapan, kami beberes. Tujuan kami adalah salah satu lansekap paling ikonik di Australia: Twelve Apostles. Deretan batu kapur raksasa yang berdiri kokoh di tengah laut, hasil pahatan waktu dan ombak selama ribuan tahun.
Menyusuri Great Ocean Road mengingatkanku pada sisi Pantai Selatan Jawa di wilayah Banten dan Jwa Barat. Hanya di sini kanan kiri adalah padang rumput luas. Sebelum memasuki parkiran yang berada di sisi kanan jalan dari Princetown, aku terpaku pada helikopter di atas yang berputar-putar. Ternyata ada wisata helikopter yang memungkinkan kita melihat Twelve Apostles dari ketinggian.
Saat berdiri di dek pandang, dan melihat di kejauhan sana deretan batu karang membuat saya merasa kecil — bukan karena ukurannya, tapi karena kesadaran bahwa alam bekerja dengan kesabaran luar biasa. Kini tidak lagi 12 batu karang, namun tinggal tujuh. Formasi batuan limestone yang lembut membuat beberapa apostle runtuh.
Kami melanjutkan dan sempat berhenti sejenak setelah melewati kota Port Campble. “Wah, harusnya kita camping di sana. Cuma sudah kemalaman dan ke Twelve Apostle harus balik lagi,” kataku.
Kami akhirnya mampir di The Grotto yang tak jauh dari Port Campbell. Namanya bikin penasaran. Mengingatkan Gua Langse di Pantai Selatan Bantul. Apakah guanya seperti itu?
The Grotto, dinamakan demikian karena kombinasi formasi alamnya yang menyerupai gua (‘grotto’), lengkungan batu (archway), dan sinkhole yang saling berhubungan. Saat air surut, ceruk-batu itu terbuka, mengungkap kolam dengan air tenangnya, memantulkan batu dan langit — sebuah diam yang kontras dengan laut lepas yang menggulung.
Perjalanan berlanjut ke arah barat. Jalan semakin sunyi, lebih banyak hutan, lebih sedikit mobil. Sering berpapasan dengan truk-truk besar berkecepatan tinggi mengangkut log-log kayu. Saat matahari mulai turun, dan gelap menyapa, saya tiba di Blue Lake Holiday Park di Mount Gambier — tempat menginap malam kedua.
Malam Kedua — Di Pinggir Blue Lake yang Berubah Warna
Blue Lake Holiday Park terasa hidup meski tenang. Dari campsite, terlihat samar warna biru menyala dari danau vulkanik yang jadi ikon kota ini: Blue Lake. Airnya biru tua di musim panas dan perlahan berubah menjadi abu-abu kebiruan di musim dingin — fenomena alami yang membuatnya seperti hidup.
Malam di sini terasa nyaman: fasilitas lengkap, suasana bersih, dan banyak traveler lain yang juga membawa caravan, saling menyapa dengan ramah. Saya lebih banyak istirahat di sini. Apalagi hujan mulai turun di malam hari.
Pagi harinya kami langsung keluar campsite dan menuju ke Blue Lake. Hanya bisa melihat dari sekeliling pagar atau dari gardu pandang. Blue Lake mirip Danau Toba dalam skala mini. Sebuah danau kawah yang kemudian airnya digunakan untuk keperluan masyarakat sekitar.
Di antara pepohonan pinus dan burung-burung yang berkicau di pagi hari itu, saya memandangi danau itu. Kadang, perjalanan bukan soal tempat yang dituju, tapi tentang momen diam seperti ini.
Tak jauh dari situ ternyata ada campsite yang hanya boleh dipergunakan siang hari. Tidak boleh menginap.
Hari Ketiga — Menuju Belair National Park
Perjalanan hari ketiga menuju Belair National Park, tak jauh dari Adelaide, membawa saya melewati ladang-ladang luas dan perbukitan hijau. Caravan melaju santai di jalan dua arah, dan saya mulai merasakan aroma kota besar — meski masih cukup tenang.
Sempat menginap sebentar di parkiran umum karena sudah kemalaman. Subuh kemudian beranjak ke campsite terakhir, Belair National Holiday Park. Dibandingkan dua campsite terakhir, di sini ada nuansa berbeda. Di sinilah alam dan kota bertemu. Taman nasionalnya rindang, banyak burung dan possum berkeliaran di malam hari. Di kejauhan sudah terlihat lampu-lampu Adelaide.
Tempat ini cocok untuk menutup perjalanan — tenang, tapi tidak lagi sunyi; liar, tapi tetap dekat peradaban.
Tiga hari dua malam kami habiskan waktu di sini. Meski ke kota dekat, terkadang malas untuk turun. Untuk makan kami sempat order Grabfood. Untuk terima makanan memakai kode khusus sehingga tidak salah kirim.
Di pagi hari kami sempat mengelilingi salah satu rute yang ada di taman nasional ini. Bertemu lebih dekat dengan kawanan Kangguru. Sayangnya, tidak bersua koala, meski sudah mendongak ke atas.
Seminggu sudah kami menyusuri sebagian jalur darat Australia bagian selatan. Jalur Great Ocean Road memang terkenal karena keindahannya, tapi yang lebih berkesan justru ruang hening di antara pemandangan: ketika mata lekat ke horizon, dan hati merasa bebas.
Catatan Penutup
Melintasi sebagian Great Ocean Road hingga ke Adelaide dengan caravan bukan sekadar perjalanan lintas kota — tapi lintas rasa. Ada kenangan tentang laut yang biru di Princetown, batu-batu megah di Twelve Apostles, danau ajaib di Mount Gambier, serta hutan tenang di Belair.
Semuanya menyatu menjadi satu kisah: tentang kebebasan, kesederhanaan, dan kerinduan untuk terus berjalan.