gussur.com – Kadang hidup terasa seperti lintasan yang tak berujung. Kita terus berlari, entah mengejar apa — waktu, target, atau mungkin ketenangan yang tak juga datang.
Akan tetapi di suatu pagi yang hening, langkah kaki di aspal bisa mengajarkan sesuatu yang tak pernah diajarkan buku motivasi mana pun: ketenangan bukan untuk dicari, tapi dilatih — langkah demi langkah.
Lari dan ketenangan pikiran
Aku sering ditanya, mengapa suka berlari? Apa yang didapat? Apalagi lari superjauh (ultra).
Awal-awal kebingungan mau menjawab apa. Malah jadi bertanya pada diri sendiri. Ya, mengapa aku suka lari?
Pada perjalanan waktu akhirnya menemukan juga alasan berlari. Sebagai terapi jiwa. Bagaimana mekanismenya?
Sebuah penelitian internasional menyebutkan bahwa ikut komunitas lari selama 16 minggu bisa membantu orang yang depresi atau menderita kecemasan hampir sama efektifnya dengan obat antidepresan jenis SSRI — asalkan dijalani dengan konsisten. Tidak hanya kondisi mental yang membaik, kesehatan fisik seperti berat badan, tekanan darah, dan kerja jantung juga ikut terdampak positif.
Di Indonesia pun ada penelitian yang menunjukkan bahwa banyak pelari tidak hanya tertarik pada manfaat fisik, tapi yang paling kuat adalah harapan agar lari membantu mengusir stres, memperbaiki suasana hati, dan memberi ruang agar kepala bisa beristirahat dari rutinitas yang menekan.
Seperti di sebuah pagi. Ketika bangun menjadi sebuah beban. Namun karena sudah merasakan manfaat berlari, aku pun bergegas berganti kostum lari dan memakai sepatu. Melakukan pemanasan kilat, lantas menghidupkan jam pintar ke mode penjejak lari.
Aku berlari pelan di jalanan yang sepi. Udara masih terasa segar. Maklum sekeliling masih banyak pepohonan. Kilometer awal terasa berat, namun tubuh secara otomatis mereset semua otot yang mager menjadi elastis. Kabut belum benar-benar terangkat. Suara air mengalir di parit masih terdengar jelas, berpadu dengan langkah kakiku yang berirama di aspal.
Di antara napas yang naik turun, aku tiba-tiba sadar: inilah saat paling jujur dalam hidupku. Tidak ada target harus berapa kilometer berlari. Tidak ada sorak penonton yang menyuruh untuk memacu laju karena gerbang finish sudah di depan langkah. Hanya ada aku, tubuhku, dan pikiranku yang akhirnya berdamai.
Tubuh bergerak, pikiran ikut terbuka
Banyak orang bilang lari itu olahraga murah, mudah, dan menyehatkan. (Meski bisa dibantah juga kalau mau mengikuti kekalceran kiwari: tak murah dan tak mudah.) Tapi kalau ditelisik lebih dalam, lari bukan cuma soal paru-paru atau kaki yang kuat. Ia juga tentang kepala yang tenang. Tentang pikiran yang tadinya riuh, pelan-pelan menjadi lebih teratur.
Ada alasan biologis di balik itu. Saat berlari, tubuh melepaskan zat-zat kimia yang bisa membuat perasaan lebih baik—bukan hanya endorfin yang sering disebut-sebut, tapi juga endocannabinoid, semacam “obat tenang alami” yang dibuat tubuh kita sendiri. Bedanya, efeknya tidak datang mendadak seperti tombol lampu. Ia muncul perlahan, seperti kabut yang menipis di pagi hari.
Namun efek kimia itu cuma sebagian cerita. Sisanya datang dari hal-hal sederhana yang sering tak kita sadari: ritme langkah yang berulang, suara napas yang teratur, dan kesunyian yang mendamaikan. Lari mengajari kita menerima keadaan — termasuk ketika hari sedang tidak baik-baik saja.
Bergerak untuk bertahan
Aku pernah membaca hasil riset yang menarik: orang yang rutin berlari punya risiko lebih kecil mengalami depresi. Bahkan dalam beberapa penelitian, lari bisa sama efektifnya dengan terapi atau obat untuk kasus depresi ringan sampai sedang. Tapi jangan lantas berpikir obat tak dibutuhkan lagi. Ada banyak orang yang tetap harus dibantu tenaga profesional. Lari bisa jadi pelengkap, bukan pengganti.
Bagi banyak orang, terutama di kota besar yang penuh tekanan, lari menjadi ruang pelarian yang sehat. Tempat untuk menenangkan diri dari pekerjaan, berita buruk, atau bahkan dari pikiran sendiri. Ada sesuatu yang menenangkan dari bergerak maju saat pikiran terasa buntu. Langkah demi langkah memberi pesan sederhana: hidup harus terus berjalan.
Dan menariknya, ketika kita berlari dalam komunitas — apalagi dengan teman-teman yang punya semangat yang sama — ada rasa keterhubungan yang sulit dijelaskan. Kita belajar bahwa beban bisa terasa lebih ringan ketika dibagi lewat keringat dan tawa di lintasan yang sama.
Sisi lain yang jarang dibicarakan
Namun tidak semua cerita tentang lari itu indah. Ada juga sisi gelapnya.
Beberapa orang terjebak dalam keinginan untuk terus memaksa diri — lebih cepat, lebih jauh, lebih kuat. Mereka lupa bahwa tubuh dan pikiran butuh istirahat. Akhirnya bukan ketenangan yang didapat, tapi kelelahan, cedera, bahkan stres baru.
Beberapa kejadian tragis menghantam dunia lari: di Makassar Half Marathon 2024, pelari Andi Pallawagau Galigo kolaps di kilometer 5,68 lalu dinyatakan meninggal meski sudah dirawat di ambulans dan rumah sakit — dugaan awal: henti jantung mendadak.
Di Jakarta, dalam Electric Jakarta Marathon 2018, Arief Hartani tiba-tiba jatuh dan meninggal saat menyelesaikan kategori 5K, yang menurut keterangan aparat kemungkinan disebabkan gagal jantung.
Di Bali 2018, Denny Handoyo (50 tahun) juga ambruk menjelang garis finish 10K, dan tim medis tak mampu mempertahankan nyawanya.
Baru-baru ini dalam Mandiri Jogja Marathon, salah satu pelari asal Sulawesi Utara meninggal dunia sebelum finis.
Kasus-kasus ini menjadi peringatan keras: sebaik apa pun persiapan, kondisi medis, fasilitas medis, dan protokol keselamatan lomba harus diutamakan — karena tubuh pun punya batasnya, dan kondisi internal yang “tersembunyi” bisa menyerang di saat tidak terduga.
Ada juga yang menjadikan lari sebagai pelarian dari masalah, bukan cara menghadapinya. Saat berhenti berlari, kecemasan itu kembali menumpuk. Karena itu, keseimbangan penting. Lari seharusnya menjadi cara berdamai, bukan cara menghindar.
Lari bukan untuk menang, tapi untuk pulih
Mungkin itu sebabnya banyak pelari bilang bahwa lari adalah bentuk meditasi bergerak. Setiap langkah adalah doa kecil yang diulang-ulang tanpa suara. Dalam repetisi itu, kita belajar menerima rasa sakit, mengatur napas, menyesuaikan ritme, dan pada akhirnya — memahami diri sendiri.
Saya beberapa kali mengalami hal itu. Merapal afirmasi bahwa saya bisa finish. Bisa pulang dengan jiwa yang tenang. Bahkan ketika tersasar di tengah hutan dan penerangan sudah habis.
Aku sering merasa, bagian terbaik dari lari bukanlah garis finis, tapi saat di tengah-tengah lintasan, ketika tubuh lelah tapi pikiran tiba-tiba terasa ringan. Ketika kita tidak lagi berpikir harus sampai ke mana, tapi cukup menikmati setiap langkah.
Mulai saja, pelan-pelan
Kalau kamu sedang merasa jenuh, cemas, atau kehilangan arah, mungkin bukan nasihat motivasi yang kamu butuhkan — mungkin kamu hanya perlu sepatu dan sedikit keberanian untuk keluar rumah. Tidak perlu cepat, tidak perlu jauh. Mulai saja dengan berjalan, lalu berlari pelan. Biarkan napas dan langkahmu menemukan irama sendiri.
Lari tidak menyelesaikan semua masalah, tapi ia memberi ruang untuk berpikir jernih sebelum kamu menyelesaikannya.
Dan siapa tahu, di antara napas yang tersengal dan peluh yang menetes, kamu menemukan versi dirimu yang lebih tenang — versi yang selama ini kamu cari, tapi ternyata selalu berlari bersamamu.