gussur.com – Belum lama ada kabar dua pelari meninggal dunia saat mengikuti Siksorogo Lawu Ultra 2025 di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, pada 7 Desember 2025. Keduanya ikut dalam lomba kategori 15 km.
Ini mengingatkan kita bahwa fit belum tentu sehat, dan pentingnya memahami risiko kesehatan yang mungkin tidak terlihat.
Pelari pertama ditemukan pingsan pukul 10.44 WIB di Bukit Mitis (kilometer 12), saat hujan lebat, dan dievakuasi pukul 14.30 WIB ke RSUD Karanganyar. Sedangkan pelari kedua kolaps pukul 10.55 WIB di Bukit Cemoro Wayang (kilometer 8). Sempat memperoleh pertolongan pertama dari PMI dan marshal tapi tidak tertolong.
Penyebab sementara adalah serangan jantung akibat kelelahan menempuh rute berbukit curam di tengah cuaca buruk.
Saya kemudian teringat momen ketika Christian Eriksen terjatuh di lapangan pada Euro 2020. Seorang atlet elite, tampak bugar luar dalam, namun tiba-tiba tumbang di depan jutaan mata. Dunia terdiam. Saya pun ikut terpaku.
Lalu muncul pertanyaan yang sering kita pendam dalam hati: “Kalau atlet sefit itu saja bisa kolaps, bagaimana dengan saya yang cuma berlari di akhir pekan?”
Pertanyaan itu valid. Karena pada kenyataannya, fit belum tentu sehat. Kita bisa kuat, cepat, dan bugar, tetapi tetap menyimpan risiko jantung yang tidak terlihat. Seperti mobil sport: bodi mulus, suara mesin mantap, tapi satu kabel kecil bisa saja bermasalah.
Tulisan ini saya rangkum sebagai pengingat, terutama buat diri sendiri yang makin sering sok percaya diri: fit belum tentu sehat, dan sehat belum tentu terlihat fit.
Berikut lima poin pentingnya.
Fit dan Sehat Itu Tidak Sama
Kebugaran adalah kemampuan tubuh melakukan aktivitas fisik. Sementara kesehatan adalah ada atau tidaknya penyakit. Keduanya sering dianggap sama, padahal berbeda.
Seseorang bisa menyelesaikan maraton, tetapi tetap memiliki kelainan jantung bawaan. Beberapa masalah seperti gangguan listrik atau struktur jantung dapat bersembunyi bertahun-tahun tanpa gejala. Masalah ini baru muncul saat tubuh bekerja di batas ekstremnya.
Soal kelistrikan jantung ini, saya pun mengalaminya. Dulu ketika masih kerja, dan rutin melakukan medical check up (MCU), teman-teman selalu bingung dengan hasil yang saya peroleh: K. Alias kurang. Padahal, di mata teman-teman saya yang paling bugar dan sehat. Biasa berlari, bersepeda, dan aktivitas luar ruang lainnya.
Nilai kurang itu karena saya memiliki kelainan jantung: yakni sinus aritmia. Ya berkaitan dengan kelistrikan jantung. Namun setiap habis MCU dan dirujuk ke dokter jantung, hasilnya selalu misteri. Tidak diketahui pasti apa penyebabnya.
Inilah sebabnya fit belum tentu sehat, dan performa bukan jaminan bahwa jantung baik-baik saja.
Waktu lari kita membaik? Syukuri. Tapi jangan jadikan itu alasan “merasa semua baik-baik saja.”
Kebanyakan Atlet yang Kolaps Bukan Kena Serangan Jantung
Kita suka menyamaratakan semuanya: pokoknya jatuh = serangan jantung.
Padahal beda banget.
- Serangan jantung itu masalah pipa. Ada sumbatan. Alirannya macet.
- Henti jantung mendadak itu masalah listrik. Irama jantung kacau. Pompa berhenti. Selesai.
Atlet yang tiba-tiba roboh di lapangan hampir selalu kategori kedua. Jantung mereka bukan tersumbat, tapi korslet.
Usia Mengubah Risiko Kita
Ini bagian yang bikin saya menelan ludah, karena sudah masuk usia master.
- Di bawah 35 tahun, masalah jantung biasanya genetis atau bawaan. Yang paling sering: Hypertrophic Cardiomyopathy—penebalan otot jantung yang diam-diam mematikan.
- Di atas 35 tahun, sumber masalah bergeser ke penyempitan arteri akibat plak yang numpuk bertahun-tahun. Olahraga intens bisa membuat plak itu pecah dan menyumbat mendadak.
Makanya, medical check-up tahunan itu bukan gaya-gayaan. Itu investasi umur panjang.
Perasaan Kita Sering Bohong. Data Tidak.
Saya sering merasa masih “aman”.
Padahal jam tangan sudah teriak: “Bro, ini sudah zona merah.”
RPE (rating of perceived exertion) itu subjektif. Kadang pikiran ingin ngebut, tapi jantung sudah menjerit minta istirahat. Kita tidak selalu peka. Justru itu masalahnya.
Kalau jam tangan bilang slowdown, ya slowdown.
Jangan jadi pahlawan kesiangan.
Tanda Bahaya Sering Tidak Dramatis
Tidak selalu harus memegangi dada seperti di film.
Sinyal tubuh sering lembut sekali:
- pusing aneh yang bukan pusing biasa
- jantung berdebar tidak wajar
- nyeri merayap ke punggung, rahang, atau leher
- keringat dingin tiba-tiba
Kalau ini muncul saat lari—stop. Tidak usah gengsi. Tidak usah mikir soal pace atau Strava.
Tubuh jarang berbohong. Kita saja yang sering pura-pura tidak dengar.
Kesimpulan: Yang Kita Butuhkan Adalah Kesadaran, Bukan Ketakutan
Olahraga tetaplah jalan panjang menuju kesehatan. Tapi ia bukan pelindung mutlak. Justru tubuh kita meminta hal yang lebih sederhana:
Kenali batas. Kenali sinyal. Kenali dirimu sendiri.
Jangan cuma mengejar performa; kejar juga pemahaman.
Jadi, kalau kamu pernah punya pengalaman tiba-tiba pusing saat lari, atau heart rate melonjak tidak wajar, atau punya tips soal menjaga jantung tetap aman saat latihan—tulis di komentar.
Saya senang belajar dari cerita orang lain.
Kita berlari bukan untuk membuktikan apa-apa. Kita berlari agar esok masih bisa bangun, pakai sepatu, dan berlari lagi.