gussur.com – Menyusuri Melbourne – Adelaide via darat menggunakan campervan memberikan pandangan baru tentang gaya hidup camping pakai mobil.

“Maaf, jangan parkir dulu. Saya butuh space ini untuk mengepaskan caravan ini.”

Siap bos… Caravan dia model rumah berjalan yang digandeng dengan SUV berpenggerak 4 roda. Sementara saya cuma pakai caravan simpel.

Sore sudah melewati masa capeknya, untuk lantas merebahkan diri di pelukan malam. Saya berdiri di dekat caravan, melihat sekeliling area perkemahan Belair National Park. Ini rumah ketiga kami dalam perjalanan Melbourne – Adelaide sebelum kembali ke Sydney dan pulang ke Jakarta.

Dari kejauhan, deretan caravan tampak berjejer rapi, sebagian di antaranya sudah menyalakan lampu kecil. Di kursi lipat di depan pintu sebuah caravan, sepasang suami istri yang sudah berumur duduk santai, kepulan asap menguar dari secangkir teh (atau kopi) di tangan mereka.

Saya sempat heran. Ini belum masuk musim liburan, bahkan bukan akhir pekan, tapi area camping tetap ramai. (Beberapa saat kemudian saya melihat sebagian besar mereka orang-orang yang sudah melewati masa sibuk bekerja. Rambut mereka memutih, langkahnya pelan, tapi wajahnya tenang—seolah waktu benar-benar milik mereka.)

Di Australia, camping memang bukan sekadar kegiatan rekreasi musiman. Ia adalah bagian dari cara hidup. Dari tenda-tenda pertama yang dibawa rombongan First Fleet di abad ke-18, sampai menjamurnya caravan park di berbagai penjuru negeri, budaya camping tumbuh seiring dengan perjalanan bangsa ini. Camping bukan cuma soal tidur di bawah bintang, tapi simbol kebebasan: keluar dari rumah tapak, membuka pintu untuk melihat langit dan membaui tanah, serta membiarkan alam menjadi atap sementara.

Fenomena ini bahkan punya sebutan sendiri: Grey Nomads. Para pensiunan yang memilih hidup di jalan, menjelajah negeri dengan caravan atau motorhome. Hampir sebagian besar mereka sudah bebas finansial, waktu luang yang lapang, dan berani meninggalkan rutinitas menetap. Kadang mereka singgah sebentar, kadang berbulan-bulan. Ada yang sekadar berlibur, ada pula yang menjadikannya gaya hidup penuh waktu.

Di Belair saya melihat sendiri bagaimana ritme ini tercipta. Suara burung lorikeet bersahutan di pepohonan. Bau kayu bakar samar tercium dari area barbekyu. Tetangga saya tadi dengan tenang mengelap meja sanrai di depan caravannya setelah usai “ngeteh sore”, seolah sedang merawat ruang tamunya sendiri. Semua berlangsung lambat, tanpa terburu-buru.

Saya membayangkan, mungkin inilah makna dari perjalanan panjang: bukan lagi soal berapa jauh jarak ditempuh, tapi bagaimana kita bisa berhenti, menatap sekitar, dan merasa cukup. Orang-orang ini seakan sedang berkata: “Hidup tidak harus dipacu. Ada saatnya kita menarik rem, menepi, dan menikmati jeda.”

Entah kenapa, di tengah dinginnya udara sore menjelang malam itu, saya merasa hangat—seolah belajar sesuatu dari caravan-caravan yang diam tapi bercerita banyak.

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link