gussur.com – Niatnya iseng saja, tapi semesta mendukung. Saat hadir di konferensi pers BNI-ITB Ultra Marathon 2018, saya terlintas untuk ikut serta. Lomba lari ini menempuh jarak sekitar 170 km, dari kantor pusat BNI ke kampus ITB di Bandung. Namun yang dibuka untuk umum adalah kategori Individual 170K dan Relay 2 (R2) 170K. Berat juga untuk ikut, yang relay sekalipun. Dalam artian harus berlari sejauh 85-an km.

Ada kategori yang lebih ringan, yakni R4 (4 pelari @42-an km), R8 (8 pelari @22-an km), serta R16 (16 pelari @11-an km). Namun khusus alumni ITB. Lalu teringat dengan teman angkatan waktu kuliah, dan langsung berbalas: “Bisa ikut sebab ada yang batal!”

Akhirnya, saya diplot untuk R8. Lumayanlah buat persiapan FM Borobudur Marathon 18 November 2018.

***

Saya pun diundang masuk WAG untuk koordinasi. Ternyata banyak yang sudah ikut tahun sebelumnya. (Waktu pertama kali digelar, saya bersama teman2 sepelarian di kantor membahas bagaimana riuhnya setiap WS dan kemacetan yang ditimbulkannya. Ya, dengan 16 pelari estafet, berarti butuh 16 titik pergantian yang harus didirikan di sepanjang lintasan Jakarta – Bandung via Puncak. Dan membaca berita plus informasi di lapangan memang menimbulkan kemacetan.)

Saya diplot sebagai pelari ke-7 dengan rute larinya dari WS 12 (Masjid Raya Rajamandala Cibogo) ke WS 14 Kota Baru Parahyangan. Jarak sekitar 170 km dari Kantor Pusat BNI di Jalan Sudirman Jakarta menuju Kampus ITB itu sendiri dipecah dalam 16 WS, dengan jarak yang bervariasi, antara 8 km sampai 12 km.

Dengan melihat catatan waktu pelari-pelari sebelumnya, saya memperkirakan start sore hari. Saya pun berencana naik sepeda saja. Soalnya naik kendaraan agak nanggung. Sekalian melihat keramaian setiap WS dan aksi para pelari menyusuri jalan raya.

Sempat mampir di titik Start (Kantor Pusat BNI) untuk bertemu teman-teman yang akan start di beberapa kategori. Saya segera pulang agar bisa istirahat. Melewati kolong Dukuh Atas mengarah Pasar Rumput saya melihat plang petunjuk rute ITB-Ultramarathon 170K. Ternyata rutenya kemudian putar balik sebelum Pasar Rumput dan mengarah ke Kuningan.

Sampai rumah memasang rak sepeda serta lampu-lampu untuk melawan gelap. Juga baju2 ganti dan tak lupa BIB serta jersey lari. Rampung semuanya lantas mandi.

La, kok malah jadi segar lagi? Sambil memantau WAG teman-teman yang sedang mengukur aspal (di angkatanku ada empat tim yang ikut: dua R16, satu R8, dan satu R4) saya mencoba memejam mata. (Nah lo, memantau tapi memejamkan mata.)

Sampai akhirnya kemudian alarm dua ponsel dan fitness tracker membangunkanku sekitar pukul 04.00. Segera aku bebenah, juga minum kopi dingin dan dua lembar roti tawar yang mengapit telor dadar. Sekira setengah jam kemudian aku sudah membelah pagi bersamaan dengan tetangga yang mau ke masjid.

Marin Nicasio lantas membelah hari menjelang pagi. Apalagi jalanan masih sepi. Tanpa terasa sudah memasuki Simpang Depok. Terang tanah sudah tersua di sini.

***

Akhirnya saya bertemu dengan “buntut” peserta ITB Ultramarathon di wilayah Cibinong. Sebelum belokan menuju pintu masuk kawasan LIPI Cibinong. Seorang bapak-bapak yang berlari-lari kecil. Melihat jersey yang bertuliskan “Mesin 70” bisa diperkirakan usianya. Jika masuk kuliah umur 17, plus rentang 1970 – 2018, maka usianya berkisar di angka 65. Bisa diperkirakan pula bahwa di masa mudanya rajin berolahraga.

Sempat berbasa-basi memberi semangat saya terus mengayuh. Di depannya ada peserta dengan jersey “Mesin 75”. Lalu mulai banyak pelari angkatan yang lebih muda.

Mengejar teman yang juga sepedaan menuju tempat start-nya berlari saya terus memacu kayuhan. Beberapa WS terlampaui, namun karena tidak kenal dengan masing-masing peserta ya saya langsung ngacir saja.

Baru kemudian di daerah Warung Jambu pandangan mata saya tercokok dengan jersey yang aku bawa di tas sepeda. Akhirnya membarengi dan ber-hi2. Ternyata Evi sang captain dan Reni. Sempat berfoto sejenak, kemudian saya melanjutkan kayuhan.

Sebelum Total Segar di Bogor saya melihat sosok yang familiar. Cewek perkasa …. begitu aku mengenalnya. Soalnya suka lari lintas alam dan lintas aspal dengan jarak yang tak biasa. Ultra. Monah panggilannya. Gadis mungil ini terlihat jalan. Setelah kusapa dan basa-basi, ternyata kakinya melepuh. Jadi ya jalan kaki dan diselingi lari.

Memasuki Bogor aku terus memacu sepedaku. Ingin segera sampai ke titik start. Takut terlambat. Sebab ini pertama kali ikut lari estafet. Juga belum mengenal semua pelari dalam satu tim. Maklumlah pelari nyubi.

Semakin ke atas, semakin banyak pelari-pelari kencang. Membayangkan bagaimana perkasanya mereka menaklukkan jalur puncak. Gowes saja ngos-ngosan, apalagi lari. Ya bisa aja sambil jalan. Tapi tetap saja 100 persen mengandalkan tubuh. Beda dengan menggowes yang bisa tersenyum lebar kala menuruni jalur.

Sempat bertemu dengan teman penggowes yang sedang istirahat di salah satu warung pinggir jalan. Ternyata mau menuju Bandung juga. Namun karena gak mematok target waktu jadi mereka jalan santai. Karena saya memburu waktu, makanya tak berlama-lama mengobrol dengan mereka.

Setelah makan siang tak jauh dari jembatan yang melintasi Sungai Citarum, saya kembali melanjutkan perjalanan menuju Masjid Raya Cimandala, Cibogo. Melewati jembatan tenaga dikuras kembali menghadapi tanjakan. Tak terlalu curam, namun panjang.

Sampai kemudian ban sepedaku memasuki halaman masjid. Sudah banyak peserta yang berkumpul di sini. Ada yang sudah selesai, namun banyak yang sedang menunggu. Waktu itu sekitar jam 2 siang.

Aku segera mencari tempat untuk menaruh sepeda. Nantinya sepeda ini akan dibawa tim support ke titik finishku.

Setelah istirahat sejenak aku pun mulai mengecek informasi pelari-pelari di timku. Ternyata masih pada jauh. Bahkan dua pelari sebelumku belum berlari. Duh, alamat menunggu lama ini.

***

Istirahat sembari menunggu ternyata tidak nyaman juga. Waswas kalau pelari datang. Namun akhirnya aku merebahkan dulu tubuh penat di sebuah pojok sisi luar masjid. Sebelumnya sudah mandi dan berganti kostum. Di sini pula saya berkenalan dengan teman seangkatan namun tim relay lain.

Ketika gelap menyapa, saya sudah tidak bisa beristirahat total. Jadinya ya mondar-mandir mengecek kedatangan para pelari. Di situ pula sempat melihat peserta kategori individu, yang sedang diterapi. Saya membatin, hebat benar kakinya. Sudah menempuh ratusan kilometer.

Setelah sempat mati gaya, akhirnya selewat jam 9 malam pelarian pun dimulai. Keluar halaman masjid langsung disambut tanjakan tipis. Seumur-umur ya baru sekali itu melintasi jalur Bandung Jakarta yang dulu sering kulintasi di atas bus umum menuju Jakarta.

Baru tahu juga bahwa kehidupan malam di sepanjang jalur ini begitu berdenyut kencang. Lalu lintas masih ramai. Terutama dengan truk, yang membikin eneg sebab asapnya sangat mengganggu.

Pelan tapi pasti menyusul beberapa pelari. Tenaga masih full, istirahat juga bisa dibilang cukup. Ketika sudah sampai puncak elevasi, rute tinggal menurun. Awalnya turunan cukup tajam sebelum melandai memasuki garis finish di gerbang Kota Baru Parahyangan. Jarak 11,5 km kutempuh dalam waktu total 2 jam 10 menit.

Istirahat sebentar, menunggu sepeda, akhirnya kulanjutkan perjalanan ke Bandung dengan sisa tenaga yang ada. Satu jam perjalanan sejauh sekitar 17 km ke tempat penginapan. Beruntung ada teman yang menawari tebengan menginap. Awalnya mau menginap di saudara tapi ternyata sudah terlalu malam.

Besok paginya ke tempat titik finish UM ITB ini di kampus Ganesha. Bertemu dengan teman-teman sekaligus menumpahkan kangen akan kenangan kuliah di sini. Bersama teman yang juga berangkat gowes, kami kembali ke Jakarta mengayuh pedal kami. Kali ini tidak melewati Cianjur, namun melewati jalur Sukabumi. Jadi dua hari itu saya ngeloop Gunung Gede dan Pangrango.

Jadilah UM ITB 2018 sebagai duathlon pengobat rindu akan kampus gajah duduk. Gowes-lari-gowes.

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link