Tour de Pacet

Maunya camping di Cibodas. Tapi ada yang keberatan karena persoalan kesehatan. Jika camping harus mandi dengan air dingin ia takut rematiknya kambuh. Ya sudah, tujuan dibelokkan ke Pacet, tepatnya Wisma Kompas. Kebetulan masih ada dua kamar yang bisa dibooking. Soalnya, saat itu adalah libur panjang Hari Raya Imlek.

Dari KGC terkumpul 12 peserta (Gussur, Didi, Fredy, Sony, Fauzan, Dimas, Paulus, Alfa, Ketut, Yusri, Fami, Max). Satu peserta dan satu-satunya Srikandi, Satria Intan turut bergabung juga. Bagi saya pribadi ini pendakian Cariu yang ke-4 bersama KGC. Pertama bersama Fredy ke Bandung, lalu kedua bersama Didi ke Cipanas, ketiga bersama Ketut ke Cirata. Ketiga-tiganya sekarang ikut lagi.

Rute yang ingin dijajal adalah Cariu dan Bukit Cupu. Rute ini sudah pernah saya coba bersama Didi, hanya tidak menginap. Nonstop gowes 18 jam Jakarta – Cariu – Bukit Cupu – Cipanas – Puncak Pass – Bogor – Jakarta. Cerita bisa dilihat di sini.

Kumpul di seberang Stasiun Tanjungbarat, kami menyusuri Jln Lenteng Agung, Akses UI, Raya Bogor, Radar Auri, untuk kemudian menyusuri Transyogi menuju Cariu. Saat pitstop pertama di Alfamart sebelum jalan layang Cileungsi saya sudah rerasan bahwa salah satu peserta mesti dievakuasi. Soalnya, meski fisik oke karena seorang pendaki gunung, namun mental dan pantat belum bisa mengimbangi peserta lainnya. Jadi teringat dengan teman Didi yang barusan mendaki Everest tapi harus dievakuasi saat ikut touring ke Bandung via Purwakarta.

Pitstop selanjutnya direncanakan setiap dua jam namun karena kecepatan kayuhan tidak sama maka setiap jarak antarpeserta mulai jauh maka rombongan depan berhenti untuk regrouping. Dan memang mulai terlihat bahwa Fauzan harus dievakuasi.

Rencana awal mau makan siang di Puncak Cariu tak kesampaian karna waktu makan siang sudah tidak bisa diajak kompromi. Alhasil, di daerah Buanajaya terpaksa harus berhenti untuk isi BBM. Biasanya saya juga berhenti di sini untuk menyiapkan fisik sebelum pendakian panjang Cariu. Cuma di sini biasanya masih pukul 10.00-an sehingga di Puncak Pinus pas waktunya makan siang.

Berhubung tidak ada menu nasi, maka mie rebus pun jadi. Ada yang menu dobel, ada yang pakai nasi milik pemilik warung. Yang penting perut terisi untuk mendaki. Dari pitstop ini masih ada turunan cukup panjang sebelum akhirnya disambut Tanjakan Cariu.

Pada kesempatan ke-4 ini saya berhasil menajamkan waktu tempuh Tanjakan Cariu dihitung dari papan petunjuk tanjakan (setelah melewati jembatan). Dari 1 jam 10 menit, 55 menit, 48 menit, dan kemarin 43 menit. Dengan hasil yang sama, selangkangan kebas hehe … Dan kram setelah istirahat di Puncak Pinus.

Jika sebelumnya istirahat di warung paling ujung, kali ini istirahat di warung pertama sebelah kiri setelah tanjakan. Begitu sampai langsung pesan teh manis hangat dan rebahan menunggu yang lain. Tak lama muncul Paulus. Sambil istirahat ternyata dapat kabar crank Dimas bermasalah. Sempat simpang siur soal masalah ini karna ada SMS bilang freehubnya.

***

Selepas Puncak Pinus maka jeda turunan dimanfaatkan untuk melepaskan ketegangan otot. Jalanan cukup lengang sehingga rombongan langsung berpacu melawan nyali. Sempat berhenti sebentar di rumah makan di daerah Sekargalih untuk berfoto bersama. Juga untuk melakukan regrouping sebab jalur selanjutnya adalah berbelok ke kanan menuju Taman Bunga Nusantara.

Jalur menuju Taman Bunga Nusantara lebih sempit dibandingkan jalur Cariu – Cianjur. Lebarnya hanya sekitar 5 m. Mobil berpapasan harus hati-hati. Namun suasanaya enak buat gowes. Kanan kiri sawah dan air gemericik sebelum mendaki Bukit Cupu yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Jalanan mulai rusak. Aspal terkelupas di sana-sini. Beruntung hari tidak hujan sehingga lubang-lubang terlihat dengan jelas. Pohon sawit sudah mulai meninggi.

Kontur jalan merayap perlahan. Begitu juga dengan gelap. Sampai akhirnya tiba di Kampung Bakom, selepas perkebunan sawit. Magrib. Istirahat sambil isi perut. Sekalian pasang lampu karena akan melakukan nite ride. Sayang, jalan masih berlubang sehingga mesti lebih berhati-hati.Perkampungan terdekat adalah Marwati.

Merayap dalam kegelapan dengan kondisi jalan yang berantakan membuat kayuhan tidak maksimal. Padahal pemandangan di depan sana terkadang membius mata. Kelap-kelip lampu dan lamat-lamat sosok Gunung Gede Pangrango membuat malam semakin mencekam.

Sebelum Marwati jalanan mulai mulus. Juga menurun. Tapi ya tidak bisa memacu secepat-cepatnya karena gelap. Di Marwati sempat berhenti sejenak karena diskusi soal rute. Saya yang masih ingat dengan rutenya pun melaju terus karena hujan mulai turun. Antara pakai mantol atau tidak saya memilih tidak. Kelihatannya hanya gerimis kecil dan lokal saja.

Sampai akhirnya di Alfamart setelah Cikanyere. Istirahat sejenak sambil beli ubarampe dan minuman. Di depan ada persimpangan, dan menuju Pacet bisa lurus atau belok kanan. Lurus langsung menuju ke Wisma Kompas, ke kanan lewat Taman Bunga Nusantara dan tembus ke Pasar Cipanas. Akhirnya diambil yang lurus karena lebih singkat jaraknya. Juga sesuai panduan GPS.

Jalanan sempit menanjak dan agak rusak itu berujung di jalan raya lebar namun gelap. Kanan kiri rumah dan kadang penjual tanaman. Saya belum pernah lewat jalur ini sebelumnya sehingga tidak ada pikiran bahwa inilah awal tanjakan sampai ke Wisma Kompas. Pada tahap awal masih banyak yang menggowes. Namun ketika tanjakan tak berkesudahan, beberapa mulai mengeluh. Bahkan seperti “menghujat” karena lewat jalur ini dan bukan lewat Taman Bunga Nusantara.

Tikungan tajam disambut tanjakan. Begitu seterusnya. TTB berjamaah di malam gelap menjadi pemandangan. Capek membuat orientasi kacau. Salah satunya mendengar anak ayam di atas pohon. Saking penasaran, setelah pulang ke Jakarta ia googling dan menemukan tautan yang isinya bahwa suara anak ayam di malam hari itu suara kuntilanak!

Delapan ratus meter sebelum Wisma kami berhenti sebentar untuk melepaskan lelah. Sekalian regrouping terakhir. Namun satu dua peserta sudah jalan duluan. Sekitar pukul 21.00 rombongan akhirnya tiba di Sate Maranggi. Sayang karena penuh maka tidak jadi makan sate dan berpindah ke Mie Jawa di Wisma Kompas.

Setelah perut terisi, satu per satu rombongan menuju kamar dan mandi. Selanjutnya ngobrol ngalor ngidul.

***

Rencana awal, pagi-pagi mau ke Cibodas. Namun karena pada bangun siang dan masih “trauma” dengan tanjakan semalam, maka acara ke Cibodas pun dibatalkan. Rombongan langsung balik ke Jakarta melalui Jalan Raya Puncak.

Sekitar pukul 10.00, minus Max yang sudah berangkat subuh-subuh karena ada keperluan, kami meninggalkan Wisma Kompas. Berfoto di Botol Kecap dan terengah-engah menanjak ke Mang Ade, toh semuanya sampai di Mang Ade sebelum makan siang. Kemacetan di liburan panjang itu begitu panjang. Selepas Botol Kecap langsung macet sampai Mang Ade.

Setelah makan siang, kabut dan angin mulai memenuhi Puncak. Dingin menyerbu tubuh-tubuh kami. Segera mantel dan jas hujan dipakai. Turun dengan meliuk-liuk di antara kemacetan amat mengasyikan. Entah mengapa mereka suka dengan kemacetan. Duduk diam berjam-jam di dalam mobil. Jika bosan terpaksa menepi dan tak bisa apa-apa.

Kemacetan begitu panjang. Bahkan sampai Cisarua pun masih tersendat. Sepertinya sebelum Gadog baru terlihat jalanan lancar. Tak terasa sudah sampai Tajur Bogor yang ternyata juga macet. Regrouping di seberang Ekalokasari Plasa akhirnya yang mau naik KA hanya Intan dan Fredy. Dua rombongan berpencar, satu lewat Parung, sisanya ke Jakarta via Jalan Raya Bogor.

Sampai di rumah matahari masih bersinar.

***

Rute hari pertama di sini.

Rute hari kedua di sini.

6 Comments

  1. Walaupun cape liat tanjakan,muka pucet…ga kapok…bneraaann ga kapokk.. Trek nya kereenn,puass bgt hehe

    1. salam kenal juga oom dhani. hehe keder denger namanya. saya join di milis 1PDN juga tapi blm berani gowes bareng. iya, saya kenal intan pas kemarin sama2 jelajah sepeda jakarta palembang.

Leave a comment