gussur.com – Tiga hari, dua malam, dan ribuan langkah kaki. Ultra Marathon ITB 2025 baru saja berakhir (26–28 September 2025), dan seperti biasa, meninggalkan rasa campur aduk: lelah, lega, sekaligus rindu yang entah kenapa selalu muncul tiap kali garis finish sudah lewat di belakang. Rindu yang harus dituntaskan di event berikutnya.

Aku sudah ikut acara ini sejak 2018. Yang pertama absen karena belum tahu. Pernah mencoba kategori individu, merasakan relay 2, relay 8, dan tahun ini memutuskan kembali ke relay 8 dan 16. Entah kenapa, tiap kali ada kabar ITB Ultra, kaki ini seolah otomatis daftar lagi. Mungkin karena event ini beda: bukan sekadar lomba lari, tapi perjalanan yang memeras fisik sekaligus mengaduk emosi.


Etape 7 & 8: Dari Ciawi ke Puncak

Di kategori relay 8, saya kebagian etape 7 dan 8. Langsung ditunjuk oleh Capt Irfan. Padahal baru saja finish di Sydney Marathon 2025 dengan kaki penyok. Aku akhirnya memutuskan menjalani terapi “saraf kejepit” di Klinik Pro V. Pengobatan alternatif mengadopsi perguruan Shaolin ini sudah terbukti ketika pinggang saya bermasalah beberapa puluh tahun lalu. Jalan pincang, duduk di jok motor miring, sampai mengaduh setiap bangun tidur. Dua kali terapi akhirnya sembuh.

Etape 7 dan 8 start dari SMP YPI Ar Rahman di Ciawi, dan finish di Melrimba Garden, Puncak. Kalau dibilang “brutal”, ya memang begitu. Jalannya menanjak terus. Sebelum titik akhir, tikungan demi tikungan seperti tak ada ujung. Dari plot pergerakan pelari, saya diplot start pukul 06.40. Ternyata malah lebih cepat sekitar 10 menit. Pelari sebelumku, Adi, malah mencari aku begitu finish tiba. Sementara aku sedang ngobrol dengan peserta lain.

Di satu sisi, rute etape 7-8 dengan EG sekitar 600m ini penuh tanjakan yang menyiksa betis. Tapi di sisi lain, ada semacam kepuasan melihat mobil-mobil merayap pelan. Bahkan berhenti. Sementara kita, para pelari, justru bergerak dengan ritme sendiri. Ada momen saya sempat berpikir: “Ngapain sih ikut beginian lagi?” Tapi begitu melihat rekan tim menunggu di titik transisi, rasa lelah itu seperti lenyap. BIB relay berpindah, dan kita saling tepuk bahu. Rasanya sederhana, tapi magis.

Rute ini menjadi rute perenungan dan perhitungan yang rumit ketika ikut Relay 2. Waktu itu persiapan kurang. Dari Jakarta sampai Cibinong alias separo perjalanan masih oke. Namun selepas itu badan mulai protes. Dan 4 km terakhir adalah pertarungan mental. Tidak lagi fisik. Aku tidak ingin mengecewakan rekan relay dan keluarga besar komunitas pelari angkatan 88, la88ler.


Finish di Melrimba, pergantian pelari dengan Aul yang sudah jenuh menunggu.

Relay 16: Citatah – Ciburuy

Di kategori relay 16, saya dapat bagian dari Rest Area Citatah menuju Situ Ciburuy. Jalurnya relatif lebih pendek, tapi bukan berarti enteng. Elevasinya lumayan, plus suasana tengah malam yang dingin menusuk. Ini relay tak direncanakan sebetulnya.

Jadi, ada angkatan lain yang ingin mengenang sahabat mereka dengan berlari di UM ITB ini. A Tribute to …. begitu nama tim ini. Relay 16 berarti mengumpulkan 16 pelari untuk saling bergantian membawa BIB relay dari Jakarta ke Bandung. Karena kekurangan pelari, saya pun menawarkan diri. Meski dari angkatan berbeda. Awalnya aku minta di leg 12. Dari masjid ke masjid ini rutenya. Namun di hari-hari terakhir ada masalah mendadak, yang membuat aku bergeser ke leg 14.

Bagian yang paling saya suka di rute ini justru bukan saat lari. Ini kali ketiga saya menyusuri jalur ini. Yang saya tunggu justru saat berdiri di pinggir jalan (sedikit) gelap, menunggu pelari sebelumnya datang, lampu kendaraan menyorot wajah, dan tiba-tiba ada suara ojek pengawal: Pak Sudi tinggal 200-an meter lagi! Ada jeda cukup lama, dari finis di Melrimba sekitar pukul 10.00, dan start di Citatah ini sekitar pukul 23.30.

Dan ketika akhirnya menjejak Situ Ciburuy, saya tahu kalau bukan hanya etape yang selesai, tapi juga sepotong perjalanan pribadi yang tuntas. Sekaligus mengenang perenungan ketika ikut kategori individu. Sama seperti kilometer terakhir di Relay 2, rute ini menjadi penentu apakah aku bisa finish under-COT atau tidak. Kembali perhitungan kilat antara pace dan jarak serta waktu COT aku lakukan.


Apa yang Membuat ITB Ultra Spesial?

Ada banyak event lari di Indonesia — trail, road race, bahkan ultra-ultra lain. Tapi ITB Ultra punya rasa yang berbeda. Mungkin karena rutenya: dari Jakarta ke Bandung, 180 km penuh variasi. Ada aspal jalan nasional hingga provinsi, jalan beton, tanjakan brutal, turunan curam, sampai jalur yang membuat kita berpikir dua kali sebelum berlari lebih cepat. Lengkap banget, semacam “miniatur” semua tantangan pelari.

Lalu soal peserta. Tahun ini makin beragam: bukan cuma alumni ITB, tapi juga komunitas lari dari berbagai kota. Saya ketemu pelari muda yang baru pertama kali mencoba ultra, juga veteran yang sudah entah berapa kali mengulang. Di jalan, semua status hilang: yang tersisa hanya orang-orang dengan peluh, napas terengah, dan semangat yang sama.

Dan jangan lupa: keramaian tim. Kategori relay itu unik — bukan hanya soal lari, tapi juga logistik. Bagaimana mobil tim berpindah-pindah, bagaimana kita saling berbagi air, makanan, bahkan jaket di tengah malam. Ada kalanya ribut kecil soal strategi, ada kalanya tertawa ngakak di water station (WS). Semua itu bagian dari pengalaman.


Menutup Garis

Ketika finish di Situ Ciburuy, ternyata tidak ada tebengan untuk ke Bandung, tempat finish Ultra Marathon ITB ini. Terpikir untuk order transportasi daring, namun sudah begitu malam. Akhirnya bertemu teman yang ingin istirahat di sini. Kebetulan dia membawa mobil. Aku pun nebeng tidur dan langsung terlelap.

Saya membayangkan teman-teman yang finish di kampus ITB. Pernah merasakan itu. Tubuh sudah lelah. Namun sambutan teman-teman melenyapkan rasa lelah itu. Energi mereka seperti berlipat dan berpindah ke tubuhku. Lelah itu nyata, tapi lebih nyata lagi rasa kebersamaan yang terbentuk di titik akhir ini.

Ultra Marathon ITB 2025 memang “a race like no other”. Rutenya brutal, tapi justru di situlah letak istimewanya. Dan mungkin itulah alasan kenapa banyak orang — termasuk saya — selalu kembali, meski sudah tahu betapa beratnya. Karena di setiap langkah, kita bukan hanya sedang berlari, tapi juga sedang menemukan kembali arti kebersamaan, persahabatan, dan mungkin juga, sedikit bagian dari diri kita yang hilang di keseharian.

Jadi, sampai ketemu di UM ITB 2026 ya ….

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link