NuRA-TW5-Kp Awan / 29″

Akhirnya kesampaian juga menjajal NuRA. Sudah lama tidak main tanah, apalagi di kawasan Puncak. Makanya, begitu izin ikut Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo tidak turun padahal sudah dapat tiket dan akomodasi, pikiran pun langsung mengiyakan ajakan Lannue ke NuRA. Terlebih kali ini Imam RideBike Indonesia berbaik hati meminjamkan sepeda Niner ukuran 29″. Sepeda ini sebelumnya sudah aku pakai warawiri rumah-kantor. Dengan ban onroad tentunya.

Setelah diganti dengan ban pacul, saya bersama Lannue, Fami, dan AH dari KGC langsung gowes menyusuri tol menuju ke Gadog, tempat Rokhmat dan temannya sudah menunggu. Sayang, masang ban pacul tidak sempurna atau tidak rata karena tidak ada pompa kaki. Alhasil saat memasang ban, bagian tepi tidak bisa keluar seutuhnya. Tapi ya karna keburu waktu, terus jalan bakalan offroad, maka gangguan itu tak sedikit pun mengganggu.

Sepintas saat disandingkan tak ada yang aneh dengan Niner 29″ ini. Baru ketika dicopot dan dimasukkan ke angkot yang akan membawa ke Mang Ade terlihat perbedaan yang mencolok. Ban 26″ bisa masuk di antara dua jok angkot dalam posisi melintang, sedangkan ban 29″ terganjal oleh tepi jok. Rokhmat pun baru sadar bahwa sepeda yang aku bawa sepeda ban 29″.

Tiba di Mang Ade makan nasi goreng dulu. Masih banyak yang ngeriung di warung. Ada yang dari Jakarta, ada juga yang dari Palembang. Magnet kawasan Puncak sebagai jalur offroad memang sangat kuat. Banyak jalur dan udara yang sejuk membuat gowes di sini tak banyak mengeluarkan keringat.

NuRA bertitik awal dari tower PLN sehingga dari Mang Ade harus ngaspal dulu ke arah Cianjur. Turun, lalu masuk gerbang menanjak. Nah di sini ditarik restribusi sebesar Rp10.000. “Biasanya dapat teh botol Walini,” kata Fami. Bisa jadi karena kami masuk sudah agak siang sehingga persediaan teh botol sudah habis.

Ban yang tak rata terasa saat melintas jalanan aspal. Pas belokan menanjak ke kanan, track NuRA berawal ke kiri. Jalan tanah mulai bikin adrenalin naik. Masih adaptasi, beberapa drop off kecil terpaksa diikuti alurnya. Maklumlah, Niner yang saya bawa ini dilengkapi dengan fork rigid DT Swiss. Karbon tapinya hehe… Jadi agak lumayan membantu saat melindas jalan keriting. Lama-lama setelah menemukan irama dan menyatu dengan sepeda, drop off pun bisa dilibas dengan nikmat.

Turunan yang dominan dengan tanah membuat Niner melaju dengan riangnya. Bobotnya yang enteng meski frame terbuat dari alloy membuat sepeda menyatu ke tubuh dan rasanya seperti berlari saja. Mmmhh… sepertinya sebuah racun baru mulai bekerja nih! Kegamangan yang diceritakan Devin seolah menguap, ditelan debu yang beterbangan.

Dibandingkan dengan jalur RA klasik, NuRA lebih manusiawi buat fork rigid. Tak banyak bebatuan, meski beberapa batang pohon yang tumbang mengalangi trek sehingga harus menundukkan badan untuk melewatinya. Turunan menikung tajam kadang bikin deg-degan sebab saya belum bisa menghapus trauma pakai sepatu cleat. Ada satu tikungan tajam yang tidak bisa aku taklukan. Hampir saja nyelonong ke bibir jurang karena tidak sigap membuang setang ke kiri.

Selebihnya adalah kenikmatan di atas 29″ yang sangat efisien dalam menyalurkan energi tubuh melahap setiap tikungan, drop off, atau tanjakan kecil. Ada satu jalur yang memakan banyak korban. Lokasinya tak jauh dari kompleks Gunung Mas. Jalurnya lurus namun beda ketinggian dan tanah gembur sebelum agak berbelok. Jika tidak bisa mengendalikan laju sepeda hasilnya nyungsep seperti dialami mas AH dan temannya Rohmat. Tidak menimbulkan luka serius kecuali baju kotor hehe…

***

Turun Gunung Mas Fami langsung mencegat truk menuju ke start TW5. Sedikit waswas sebab jalur di sini banyak makadamnya. Beruntung ternyata sampai ke atas naik truk. Meski terguncang-guncang tapi lebih enak naik truk daripada gowes. Di titik start sudah banyak goweser yang menggunakan perlindungan lengkap. Sepertinya mau turun ke TW3 yang cocok buat penyuka downhill.

Jika TW3 treknya agak ke atas, TW5 turun di tengah. Belum-belum mas AH nyungsep lagi. Kali ini di turunan yang curam sehingga laju sepeda bisa kenceng kalau tidak diimbangi dengan pengereman yang tepat. Kali ini dari nyungsep tadi mas AH dapat tanda mata luka di kaki kiri sebelah luar. Soalnya jatuh di semak-semak kebun teh. Bisa dibayangkan sendiri pohon perdu yang dipangkas secara rutin akan menyimpan batang2 keras dan tajam.

Dari mula start saya sudah waswas dengan Niner. Maklum, banyak batu tersembunyi di sini. Tidak seperti di NuRA yang dominan tanah. Alhasil pemilihan trek harus seawas mungkin. Jangan sampai kena bebatuan pas melaju kencang.

Hampir saja saya celaka saat melewati gundukan yang cukup tinggi. Ternyata begitu turun dari gundukan sudah ada pandan yang roboh siap menyambut kepala Anda jika tidak hati-hati. Nah, selepas pandan roboh inilah tragedi terjadi. Saat menurun dengan kencang karena berada di barisan belakang, saya tak bisa menghindari batu tajam yang menonjol di lintasan. Mengerem sudah tidak sempat, saya pun mencoba mengangkat setang. Sayang terlambat dan bunyi benturan keras terdengar. Saya langsung menebak pasti ban bocor.

Benar saja, tiba-tiba ban kempes terkena “gigitan ular”. Spontan saya memanggil Fami berulang-ulang. Lannue yang ada di belakang pun menyusul dan mencoba menelepon Fami. “Wah, blank spot nih. Padahal Telkomsel katanya sinyal ada di mana-mana,” katanya saat mencoba menelepon Fami. Beruntung XL masih ada sinyal sehingga Fami pun bisa dipanggil untuk menambal kebocoran ban.

Setelah dibongkar, dua sayatan sepanjang sekitar 1 cm di bagian atas dan bawah ban dalam terdeteksi. Bongkar2 peralatan ternyata tidak ada amplas. Terpaksa menggunakan obeng digarut2kan ke ban sehingga terbentuk sayatan2 mirip amplas.

Pada saat yang bersamaan ternyata ban Rokhmat juga mengalami kebocoran. Hanya saja dia membekal ban dalam sehingga tidak perlu repot harus menambal segala.

TW5 bisa terselesaikan dengan Lannue sudah kepayahan. Kami berhenti sebentar di sebuah warung mengisi perut dengan roti, cokelat, dan minuman. Sekarang saatnya menuju ke Kampung Awan. Namun kami berhenti dulu untuk makan siang.

Sebelum mencapai tempat makan, perjalanan melalui sebuah perkampungan dengan kebun kopi di pekarangan. Jalanan berbatu menanjak dan sebagian tidak bisa digowes.

Saat menuntun itu saya mencium bau harum. Saya berpikir itu bunga kenanga atau kemuning. Namun tengok kiri kanan ternyata tidak ada. Yang terlihat bunga kopi berwarna putih. Baru peftama kali ini saya melihat dan mencium aroma bunga kopi.

Jalur ini melewati pintu gerbang Curug Cilember. Saya pikir Kampung Awan tak jauh dari sini. Ternyata masih di bawah. Harus turun lagi sampai parkiran Taman Matahari. Turun sebentar ke arah Gadog sebelum akhirnya berbelok ke kanan pada pertigaan pertama selepas parkir Taman Matahari.

Ada sedikit gangguan setelah makan siang di warung Sunda. Selepas makan, ban depan saya kempes lagi. Ternyata hasil tambalan Fami kurang menutup kebocoran. Alhasil terpaksa bongkar lagi dan ditambal. Kali ini di tukang tambal ban motor tak jauh dari warung Sunda tadi.

***

Di pertigaan ini Rokhmat dan temannya langsung turun ke Gadog karena ada keperluan lain. Tinggallah kami berempat meneruskan ke Kampung Awan. Perjalanan menuju Kampung Awan sempat terganggu hujan sebelum pertigaan selepas dari Jalan Puncak Raya.

Beruntung hujan segera berhenti. Setelah pertigaan yang ada petunjuk arah menuju Kampung Awan, praktis jalanan didominasi tanjakan. Inilah tanjakan yang sering diperbincangkan oleh penggowes penikmat jalan nanjak.

Saya tak tahu persis berapa panjang tanjakan. Ada sekitar 5 km, dengan variasi tanjakan. Jalanan sudah beraspal. Lumayan membantu saat menggowes. Karakter ban berdiameter besar mulai terasa. Sepanjang bisa menjaga kayuhan maka roda berputar dengan ritmis, mendaki tanjakan sedikit demi sedikit.

Pemandangan di kejauhan di sebelah kiri menyejukkan mata. Perkampungan yang kebanyakan berisi vila berjejer di sisi kanan. Tak banyak warung sehingga harus mempersiapkan makanan kecil dan terutama minuman.

Sambil menunggu rombongan saya berhenti dan melihat di kejauhan awan berarak mengirim naungan hari yang sudah gelap. Guntur menggelegar pertanda hujan segera turun.

Benar saja, begitu perjalanan berlanjut hujan mulai bertingkah. Sampai akhirnya di Kampung Awan Camp hujan benar2 turun dengan deras. Tak ada persiapan berarti saya pun melindungi tas pinggang dengan memasukkan ke jersey.

Jalan menuju ke arah Pondok Pemburu sudah dibeton. Namun hanya beberapa kilometer saja. Ya cukup membantu sebab jalanan itu sudah masuk ke kawasan hutan. Jika tidak dibeton jalan tanah akan licin saat hujan begini.

Sebuah motor di pinggir jalan menerbitkan tanya. Di mana gerangan pemiliknya? Daerah itu sepi dari rumah2. Apakah lagi pacaran pemiliknya? Hujan2 begini? Tak ada pondok atau saung sejauh mata memandang.

Ternyata pemilik motor itu dua sejoli yang berjalan searahku. Jalan beton sudah berakhir, berganti dengan jalan tanah campur rumput. Dua sejoli itu menghilang di tikungan saat saya berhenti menunggu teman2. Mau ke mana mereka?

Melanjutkan perjalanan masih meninggalkan rasa penasaran. Dua sejoli tadi raib dari jangkauan ekor mata. Secepat2nya mereka berjalan harusnya masih bisa terlacak punggungnya karena di balik belokan jalan lurus dan tak ada kerimbunan mencolok.

Hmm … siapa dua sejoli tadi? Mengapa motor tidak dibawa? Secara logika masih bisa jalan itu dilalui oleh motor. Matic sekalipun. Ah, sudahlah. Saya tepis pertanyaan2 nakal dan mistis itu. Toh tak seberapa lama saya menemukan sebuah rumah agak menjorok dari jalanan dengan denyut kehidupan tersua dari suara2 manusia di dalamnya.

Jalur ini bertemu dengan jalan tanah dari Sentul menuju ke Pondok Pemburu. Tepatnya di portal bambu yang sekarang sudah tidak ada. Gubuk penjaga masih ada. Juga rumah tak jauh dari gubuk itu.

***

Sekarang jalan tinggal menurun. Namun tak membuat hati ini senang. Sisa2 air hujan membuat jalanan yang dominan tanah lempung jadi licin. Apalagi ada bebatuan yang bisa membuat ban terkunci. Alhasil kaki satu lebih banyak turun dari pedal menjaga keseimbangan.

Sudah banyak yang berubah dari terakhir kali ke Pondok Pemburu. Terlebih saat mendekati rumah Prabowo. Ada bangunan mirip kandang hewan. Jalan juga sudah beraspal. Alang2 sudah rata dan pandangan jadi lepas.

Selewat rumah Prabowo jalanan mulus dan undakan2 sudah lenyap. Dua rumah Toraja sedang dibangun.

Kembali ke rumah AH lewat Taman Budaya tak bisa kenceng2 karena kondisi ban tak rata membuat waswas juga. Ada kepotan2 kecil membuat tangan harus segera menarik tuas rem.

Akhirnya sampai juga sekitar jam 4 sore di rumah AH. Bebersih badan dan sepeda lalu pamit pulang.

Track bisa dilihat di sini:
http://www.endomondo.com/workouts/92053070 (ada dua karena batere ponsel yg satu tewas hehe…)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s