Balada Komuter Kambuhan

Mencoba mencari suasana baru, saya berangkat-pulang kerja tidak seperti biasanya. Tidak nyepeda, juga tidak “mio”. Yang terakhir istilah untuk naik motor skutik. Mio memang sudah seperti Honda yang menjadi nama generik untuk sepeda motor zaman sebelum marak skutik. Naik motor dibilang naik Honda, padahal bukan motor Honda yang dinaiki. Tapi merek lain.

Begitu juga dengan istilah “Mio”. Sebenarnya yang duluan meluncur di jalan adalah Kymco. Dulu jetmatik istilahnya. Lalu tenggelam. Sampai kemudian muncul skutik merek Mio dari Yamaha dan booming. Jadilah berskutik sebagai ber-Mio.

Nah, suasana baru itu adalah menjadi komuter. Komuter kambuhan namanya. Wong lagi kalau kambuh saja jadi komuter. Kambuh apanya? Ini yang gak jelas. Tapi ‘kan kadang kita sering kambuh malas atau kambuh perutnya. Eh, la kok ngelantur.

Tiba-tiba saja saya ingin naik kereta api. Gara-gara pemberitaan soal Commuter Line yang marak. Pingin nyoba ngetap juga hehe … Masalahnya, rumah di Condet dan kantor di Kebunjeruk membuat rute tidak praktis. Harus ke Jakarta Kota dan nyambung Transjakarta dua kali, atau ke Tanahabang dan nyambung dengan mikrolet.

Akhirnya, saya memulai dengan pulang ke rumah naik angkutan umum. Kamis (11/7/2013) bersama teman yang sudah berkomuter dengan Commuter Line, saya pun menikmati angkutan umum di era Jokowi. Bermula dengan menunggu Bus Transjakarta di halte depan kantor. Naas, hari itu Jakarta diguyur hujan di sore hari. Sudah bisa ditebak. Menunggu hampir satu jam demi terangkut bus gandeng kombinasi warna oranye dan kuning. Selama menunggu itu banyak calon penumpang yang menyerah. Keluar lagi dan mencari moda transportasi alternatif. Ojek atau mikrolet.

Bus Transjakarta pun melaju di wilayah kekuasaannya. Berhubung sangat baik, maka jalurnya pun dibagi dengan kendaraan yang lain. Imbasnya untuk sampai ke Harmoni dari Kebunjeruk memakan waktu satu jam lebih dikit. Beruntung di (super) halte Harmoni tidak menunggu lama untuk melanjutkan ke Stasiun Kota.

Ini kali pertama saya ke Stasiun Kota melalui terowongan yang untuk turunnya melewati jalan melingkar mirip rumah keong. Harusnya jalanan ini bisa indah jika kita bisa merawat. Tapi, ya ini sudah lumayan kata temanku. Sebelumnya kumuh. Sampah berserakan dan gelap. Belum kolam air mancur yang tak ada airnya. Boro-boro mancur!

Memasuki stasiun dengan mengetap kartu menjadi pengalaman saya yang pertama. Tap ditempat yang tersedia, tunggu lampu hijau menyala, dan tekan palang pintu berkaki tiga. Menunggu di ruang tunggu sambil memperhatikan suasana stasiun yang masih kokoh dengan konstruksi bajanya.

Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (kode: JAKK), dikenal pula sebagai Stasiun Beos adalah stasiun kereta api terbesar di Indonesia yang berusia cukup tua di Kelurahan Pinangsia, Kota Tua Jakarta. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur.

Sekitar pukul 22.00, kereta yang akan membawaku pulang masuk peron. Tak banyak yang naik, yang langsung menyebar di beberapa gerbong. Kami segera mencari gerbong yang kosong dan agak di tengah. Tak menunggu lama akhirnya kereta berangkat.

Kaca jendela gerbong gelap karena lapisan film yang pekat. Alhasil tidak bisa melihat sampai stasiun mana ketika kereta berhenti. Sementara di luar, label stasiun juga tidak dilengkapi dengan penerangan. Jadi ya perlu ekstrawaspada untuk memperhatikan nama stasiun.

Semakin lama penumpang semakin bertambah, sampai akhirnya tidak leluasa untuk melihat keluar. Terpaksa mengeluarkan ponsel dan menyalakan GoogleMaps. Agak membantu meski ternyata sensitivitas GPS di ponsel agak payah.

Alhasil, setelah mengira-ngira sudah sampai stasiun tujuan saya langsung keluar.

Glek! Kok agak aneh ya tempatnya. Lalu terbacalah plang nama stasiun: Stasiun Pasar Minggu Baru. Eh, la kok ada yang baru ya?

Akhirnya bertanya ke salah seorang penumpang yang masih ada di belakang dan jelaslah saya salah turun. Belum saatnya turun. Stasiun yang seharusnya tertera di tiket masih di depan sana.

“Itu yang ada lampu kelap-kelip itu pintu kereta Volvo Mas!” kata penumpang baik hati tadi.

Setelah dikasih tahu kereta berikutnya agak lama karena sudah malam, saya memutuskan untuk keluar stasiun dan naik ojek. “Beruntung Mas turun di sini. Jadi bisa keluar stasiun menggunakan kartu. Kalau kelewatan pintu tidak terbuka meski kartu sudah masuk kotak!”

Weks. Terpaksa deh ngojek.

***

Esoknya agak kapok komuter. Tua di jalan bisa-bisa. Untuk ketepatan kereta memang bolehlah diacungi jempol. Namun angkutan pengumpan dari tempat kerja ke stasiun yang butuh energi ekstra. Kudu sabar, mau berdesak-desakan di bus Transjakarta. Atau kalau naik mikrolet siap-siap dengan kemangkelan. Jalan pelan ketika jalanan sepi karena penumpang sedikit hehe…

Namun ada info yang menarik yang membuat saya mencoba komuter lagi. Kali ini menjajal CL pas berangkat. Dari Stasiun Pasarminggu menuju ke Stasiun Tanahabang. Lanjut dengan mikrolet. Sepintas lebih praktis.

Ternyata, setelah melewatkan CL Bogor – Tanahabang yang penuh, jadwal berikutnya lama banget. Akhirnya seorang satpam memberi solusi untuk ke Stasiun Manggarai dulu, baru pindah ke Stasiun Tanahabang. Waduh, ribet malahan. Namun tetap saya coba karena CL Bogor – Tanahabang lama dan pasti penuh.

Akhirnya naik yang ke arah Kota dan turun di Manggarai. Tanya ke satpam mana yang ke Tanahabang, ditunjukkan kereta yang masih ngetem. Tapi sebentar lagi berangkat. Saat itu sekitar pukul 08.55, dan kereta yang menuju ke Angke itu berangkat pukul 09.10.

Dari Stasiun Manggarai kereta hanya berhenti di Stasiun Sudirman dan langsung ke Stasiun Tanahabang. Cepat juga, tidak sampai 20 menit.

Nah, keluar dari stasiun dan menuju ke mikrolet M-11 jurusan Tanahabang – Meruya itu yang bikin “horor”. Melewati trotoar di sisi pagar rel ternyata sudah dikuasai oleh pedagang kaki lima. Bermacam usaha berjejer sepanjang sekitar 200 m itu. Dari jualan kopi sampai makanan berat.

Dapat mikrolet yang kosong, jalanan sepi. Berharap bergerak normal, ternyata mikroletnya seperti keong kehilangan cangkang. Jadilah sampai kantor 2,5 jam.

Pulang kantor mencoba kembali ke Tanahabang. Kali ini tidak bisa menggunakan trotoar karena aktivitas PKL masih menggeliat. Terpaksa jalan di pinggir jalan. Agak ke tengah karena di pinggir trotoar menjadi parkir mobil. Dua lajur lagi!

Kali ini juga “horor” karena di mobil-mobil itu bersandar beberapa cewek dengan dandanan seksi. Cewek? Ya, sepintas begitu dari logat bicara mereka.

Apes! Begitu turun ke peron, kereta CL Tanahabang – Bogor baru saja menutup pintunya. Mencoba bertahan untuk menunggu yang langsung ke Pasarminggu, ternyata butuh waktu sekitar 1 jam. Padahal kalau langsung ke Manggarai dan berpindah akan lebih cepat.

Menunggu di Tanahabang ternyata “sedikit menyeramkan” dibandingkan Stasiun Jakarta Kota. Suasana stasiun yang kurang terang, muka-muka orang yang berlalu lalang, anak-anak jalanan yang bermain-main. Stasiun ini “lebih terbuka” memang dibandingkan dengan Jakarta Kota.

Perjalanan pulang memakan waktu hampir 3 jam.

***

Seminggu akhirnya mencoba menjadi komuter kambuhan. Dari segi waktu jelas nyepeda atau “mio” masih juaranya. Berdalih bahwa menjadi komuter bisa istirahat atau membaca tak selalu sukses juga.

Ketika naik CL dari Kota dapat tempat duduk karena dari stasiun awal, lalu mencoba membaca buku, ternyata di tengah jalan ada ibu-ibu yang berdiri di depan saya. Bertukar tempat akhirnya.

Berdiri di Transjakarta ternyata di samping saya ada seorang bapak-bapak yang berdiri juga dengan satu tangan memegang kaitan tangan. Kebetulan tangan yang terangkat itu menghadap ke aku. Kebetulan pula keteknya bau!

Lain hari pas berdesakan di CL, tiba-tiba tercium bau busuk. Pasti ada yang kentut diam-diam. Semua mata saling memandang penuh curiga. Beruntung tak lama kemudian sampai ke stasiun terdekat. Pintu terbuka sudah cukup untuk mengusir bau kentut.

Tapi mengamati aktivitas orang-orang menjadi hiburan juga. Apalagi era media sosial seperti saat ini. Hampir semua penumpang sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri. Tenggelam dalam pergaulan maya, tanpa sadar ada yang memperhatikannya. Terkadang tersenyum simpul bukan karena ada hal lucu di sekitarnya.

Sambil menunggu transportasi yang cepat – nyaman dikesampingkan dulu – untuk sementara mencoba menjadi komuter kambuhan saja.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s