Perjalanan Penuh Warna ke Ujung Peradaban (3)

Pagi-pagi pintu Alfamart belum dibuka. Namun kesibukan di dalam toko sudah berdetak dinamis. Ada yang sembahyang, ada yang senam habis bangun tidur, ada yang memilih makanan. Omega kembali memasak air. Tak seberapa lama seduhan kopi memenuhi ruang teras toko. Beberapa keluar menyelinap melalui pintu yang dibuka sedikit.

Hari sudah terang tanah. Aktivitas penduduk sudah terlihat. Menikmati pagi sembari menyeruput kopi di undakan toko menjadi sebuah kenikmatan yang tiada tara. Lupa sudah kejadian kemarin yang seharian penuh menggowes didera hujan.

Ketika petugas toko mulai mempersiapkan tokonya, kami pun satu per satu mengeluarkan sepeda. Kemudian berganti antri mandi. Kami makan ala kadarnya, sekadar mengganjal perut. Sekitar pukul 07.00 kami meninggalkan Alfamart dengan segala kenangan akan anugerah yang tak terduga semalam.

Menuju Sumur ternyata jalanan masih rolling. Sinar mentari membantu memanaskan kaki kami untuk menaklukan tanjakan. Dari penampang profil setelah peta rute yang terekam di GPS dipindah ke komputer, ternyata dari Alfamart Cimanggu ke Sumur ada enam gundukan yang lumayan terjal. Tren turun memang terlihat, dari ketinggian 250 mdpl ke sekitar 25 mdpl dalam jarak 11-an km.

Ada turunan curam yang berakhir di sebuah jembatan. Perlu hati-hati karena jalanan menurun menikung. Saya sendiri sempat tak bisa berhenti di jembatan ketika teman-teman pada narsis di atas jembatan. Padahal di mana ada jembatan pasti ada turunan dan tanjakan. Karena kami sudah merasakan turunan, maka yang tertinggal adalah tanjakan.

Begitulah, setelah usai bernarsis di atas jembatan kami kembali menggurah dengkul untuk menaklukkan tanjakan yang cukup terjal. Nah, setelah tanjakan ini ada turunan panjang yang berujung pada pertigaan. Kanan atau kiri?

Jika lihat di peta arah yang benar kiri. Namun karena tidak yakin kami menghentikan sebuah mobil bak terbuka dan baru tahu kalau ke kanan itu ke Pantai Camara. Itulah gunanya bertanya hehe … Masih ada sisa turunan dari pertigaan itu sebelum melewati rolling tak berarti.

Hari masih pagi ketika kami sampai di pertigaan Sumur. Lurus ke Tamanjaya, kanan ke Pulau Umang. Kami sarapan dulu di warung makan yang baru buka tak jauh dari pertigaan ini sambil membahas rencana selanjutnya. Kesibukan warung langsung meningkat begitu kami datang. Apa yang ada di situ kami santap sebagai pengganjal perut menunggu soto pesanan kami.

Begitu selesai sarapan, kami memutuskan untuk melanjutkan ke Tamanjaya. Namun Pak Djoko dan Pak Rusdi memilih ke Pulau Umang. Ya sudah, janjian untuk ketemu di pertigaan yang sama untuk kembali ke Jakarta menggunakan truk yang sudah dipesan sebelumnya. Rencana yang semula menginap di pantai buyar karena sore sudah harus kembali.

***

Jalanan dari Sumur ke arah Tamanjaya tidak mulus lagi. Aspal mengelupas meninggalkan bebatuan makadam. Beruntung ada bahu jalan berupa jalan tanah halus yang bisa digunakan untuk jalur gowes. Hanya saja terkadang bahu jalan ini menghilang.

Bagi sepeda dengan fork rigid, jalanan ini terasa menyiksa. Terlebih semakin ke dalam jalanan semakin rusak. Tertolong oleh rindangnya pepohonan di hampir sepanjang perjalanan. Juga pemandangan pantai dan pasir yang menggoda. Tak heran jika sempat berfoto-foto ria di pinggir pantai.

Sempat berhenti di sebuah warung sambil menunggu rombongan belakang. Jalan yang hancur membuat kayuhan rata-rata hanya bergoyang di angka 5 kpj. Jadilah jarak sejauh 20 km itu ditempuh dalam waktu total 4 jam.

Sesampai di Tamanjaya kami ke kantor Balai TNUK. Lalu ke camping ground tak jauh dari situ dan mendirikan tenda. Yah, meski hanya untuk sementara tapi karena sudah membawa tenda, apa salahnya dibuka. Hehe…

Ketika bersantai di pinggir pantai itu muncullah kapal yang sedang bersandar. Yanto langsung menawarkan untuk membeli hasil tangkapan itu sebagai lauk makan siang. Gayung bersambut. Kebetulan nelayan itu menjaga penginapan tak jauh dari camping ground kami. Setelah sepakat soal harga maka rajungan yang masih segar itu dimasak.

Nah, sembari menunggu makanan kami mengobrol soal jalur pulang. Melewati jalan rusak tadi nada-nadanya pada ogah. Lewat laut? Itu yang berada di benak kami. Dari obrolan dengan bapak-bapak yang ada di situ tercapai juga kesepakatan untuk kembali ke Sumur menggunakan perahu. Tentu dengan sepeda-sepeda kami.

Sambil makan siang saya membayangkan perjalanan yang sudah dan akan kami lalui. Naik kereta, mengayuh sepeda, menginap di Alfamart, mengarungi lautan, disambung dengan naik truk untuk sampai ke Jakarta. Sebuah perjalanan penuh warna yang saya sendiri masih bertanya-tanya, semuanya untuk apa sih?

Ah, lupakan saja semua itu. Terkadang kenikmatan sebuah wisata ada di perjalanan itu sendiri. Bukan di tempat tujuan. Proses. Bukan hasil akhir. Pengalaman, dan bukan tempat tujuan.

***

profil cimanggu - sumur

DSCN1164 DSCN1165 DSCN1166

DSCN1167 DSCN1174 DSCN1177

DSCN1179 DSCN1180 DSCN1184

DSCN1188 DSCN1190 DSCN1192

DSCN1194 DSCN1198 DSCN1200

DSCN1201 DSCN1204 DSCN1206

DSCN1209 DSCN1212 DSCN1214

DSCN1217 DSCN1218 DSCN1225

DSCN1227 DSCN1231 DSCN1235

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s