Menularkan Virus Bersepeda Melalui Jelajah Sepeda

“Tak ada kesenangan sederhana yang bisa dibandingkan dengan bersepeda,” komentar John F. Kennedy soal naik sepeda. Saya baru menyadari hal itu ketika mengikuti Jelajah Sepeda Surabaya – Jakarta yang diselenggarakan oleh Kompas, berkaitan dengan ulang tahun ke-45 harian tersebut.

Sepeda bagi saya bukan barang asing. Besar di pelosok yang menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi, ke mana-mana saya terbiasa bersepeda. Berhubung tidak ada sepeda untuk anak-anak, maka saya pun belajar menggunakan sepeda orang dewasa, milik orangtua. Terciptalah istilah ngodok sebab jelas belum bisa duduk di atas sadel. Pantat baru sampai di pilar penyangga sadel.

Begitulah, dengan sepeda kedodoran saya jajah desa milang kori (keluar masuk desa) bersama teman-teman. Bagi kami, jarak puluhan kilo sudah terasa begitu jauh sebab sudah keluar dari kampung. Kegiatan ini bertambah intensitasnya manakala saya dapat hadiah sepeda jengki. Sepeda ini pula yang saya bawa untuk pergi ke sekolah di kota.

Saat bekerja, saya pun mulai bersepeda ke kantor. Kebetulan ada komunitasnya sehingga kenangan masa kecil pun terkuak kembali. Entah mengapa saya lebih suka bersepeda jarak jauh alias touring. Selama fase ini, rute terjauh yang sudah saya lakukan adalah dari Jakarta ke Bandung. Sampai akhirnya saya diajak meramaikan acara ulang tahun Kompas, Jelajah Sepeda Surabaya – Jakarta. Langsung saja saya samber.

Ego di tanjakan

Waktu mau ikut, hanya satu yang terbayang di benak: saya bisa menyusuri jalan sejauh yang saya bisa dan melihat kehidupan di sepanjang jalan. Di beberapa kota bahkan bisa menyelami kehidupan kota itu meski hanya sebentar. Jelajah yang memakan waktu 11 hari ini akan melewati kota-kota Malang, Trenggalek, Pacitan, Solo, Jogja, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Bandung, dan Bogor. Diperkirakan total jarak 1.200 km. Hmmm … dua hal yang menggoda saya: melewati kota-kota kecil dan jaraknya jauh.

Dari beberapa etape yang dipersiapkan, beberapa etape adalah etape yang penuh tanjakan. Sebut saja Trenggalek – Pacitan dan Cirebon – Bandung lanjut ke Bogor. Ada 30 peserta yang diundang Kompas dengan perincian 10 pesepeda atlet Polygon, 10 pesepeda dari Kompas Gramedia Cyclist, dan sisanya dari komunitas sepeda yang ada di Pulau Jawa. Karena dari beragam asal, maka sehari sebelum Jelajah dimulai ada semacam “perkenalan” antarpesepeda. Mengingat 11 hari bersama tentu kebersamaan sangat berperan dalam menjaga keutuhan tim.

Benar saja, etape pertama Surabaya – Malang langsung menguji kebersamaan itu. Di daerah Gempol, Lawang, dan Pasuruan tanjakan mengadang pesepeda. Beberapa pesepeda yang tak kuat mulai didorong para pesepeda yang kuat dengkulnya. Ini dilakukan untuk menjaga agar rombongan tetap utuh mengayuh bersama. Namun karena belum kenal karakter masing-masing, bahu-membahu masih canggung dilakukan. Akibatnya rombongan tercerai berai dan akhirnya berhenti untuk mengatur kembali rombongan.

Untuk melihat karakter seseorang memang cara paling gampang adalah dengan memberi tekanan pada fisiknya. Ketika fisik sudah habis, maka watak asli seseorang akan muncul. Sampai hari ketiga kerja sama tim belum padu, terutama saat melawan tanjakan. Yah, bagi pesepeda, musuhnya apa lagi kalau bukan tanjakan. Etape kedua Malang – Trenggalek tak begitu banyak tanjakan meski jaraknya jauh. Ujian yang nyata baru terjadi di etape Trenggalek – Pacitan.

Jalur yang dipilih dari Trenggalek ke Pacitan melalui Dongko dan bukan Ponorogo. Dalam sambutannya saat melepas rombongan, Wakil Bupati Trenggalek hanya bilang bahwa jalur yang akan dilalui banyak tanjakan namun pemandangannya indah. Deg! Banyak tanjakan? Ketika tanjakan sudah banyak, pemandangan indah tak berarti. Benar saja. Selepas melewati perkampungan dan persawahan, serta baru sekitar 15 km lewat dari titik pemberangkatan, jalan mulai merayap.

Tanjakan yang tak ada habisnya benar-benar menguji keegoisan para pesepeda. Dari ketinggian 100-an mdpl, jalanan merayap hingga ke angka 900-an mdpl hanya dalam jarak beberapa kilometer saja. Keruan banyak anggota tim tercecer dan rombongan pun berantakan. Akhirnya kapten tim meminta rombongan depan berhenti dan menunggu semua rombongan yang tercecer. Tak lupa ia “memarahi” salah seorang pesepeda yang dianggap kuat dengkulnya tapi “cuek” dan ingin menunjukkan ke yang lain bahwa dia bisa mengalahkan tanjakan “maut”.

Tipikal tanjakan di etape Trenggalek – Pacitan memang menguras tenaga sebab tak memberi jeda sejenak bagi dengkul “bernapas”. Tanjakan yang berbelok ternyata disambung dengan tanjakan yang berbelok lagi. Di balik belokan itu ternyata masih tersimpan tanjakan lagi! Ketika sudah sampai puncak bukit dan menurun kami merasa lega. Tetapi cuma sesaat sebab masih ada dua bukit lagi yang harus ditaklukkan.

Belajar dari penaklukkan bukit pertama, bukit kedua kami taklukkan dengan saling membantu. Kekompakan mulai terbentuk, kerja sama mulai terajut. Saya jadi teringat dengan ucapan penjaga vila di trek offroad Pondok Pemburu di daerah Sentul. “Tertawalah saat mendapati tanjakan sebab akan ada turunan, namun menangislah jika mendapati turunan sebab di depan ada tanjakan.”

Sayangnya, alam begitu perkasa sehingga saat mau menaklukkan bukit yang ketiga hampir semua pesepeda sudah kehilangan tenaga. Akhirnya segala upaya dikerahkan. Mulai dari menggandul kendaraan pendukung, didorong oleh motor penyuplai logistik, berhenti mengatur napas dan tenaga, sampai dievakuasi. Tak heran kalau sampai di Pacitan yang berjarak sekitar 110 km sudah menjelang gelap. Padahal tim dilepas sekitar pukul 07.00.

Belajar dari Yogyakarta

Edisi tanjakan masih menyertai tim jelajah begitu meninggalkan Pacitan. Akan tetapi, berkat “gojlokan” etape Trenggalek – Pacitan kami merasakan tenaga baru. Suasana mulai mencair dan keutuhan tim mulai padu. Apa yang dikatakan oleh Kennedy tadi mulai terasa di etape Pacitan – Solo ini. Terlebih penyepeda dari komunitas lokal ikut mengantar sampai perbatasan. Tanjakan landai sejauh sekitar 20 km pun tak terasa. Lenyap di antara obrolan kami masing-masing.

Bersua dan mengobrol dengan pesepeda komunitas lokal menjadi tonik – terutama – bagi saya. Banyak hal yang bisa dipelajari dari komunitas lokal ini dalam kaitannya dengan persepedaan. Dari Yogyakarta misalnya. Tiap hari Jumat terakhir dalam bulan berjalan para pesepeda berkumpul di suatu lokasi, lalu bersama-sama gowes bareng. Tujuannya untuk “mencari perhatian” – baik ke pemerintah atau pengguna jalan lain – agar sepeda semakin diperhatikan, mendapatkan strata yang sama di jalan, dan mendapat perlindungan.

Berkaitan dengan perlindungan, Yogyakarta selangkah lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya dengan memberi asuransi terhadap pesepeda yang mengalami kecelakaan di wilayah Kota Yogyakarta. “Belum lama ini ada pelajar yang ketabrak motor saat bersepeda ke sekolahnya, pengobatan di rumah sakit di tanggung oleh Pemda,” kata Yohannes Pakdjo, anggota tim jelajah yang berasal dari Yogyakarta. Padahal pelajar tersebut bukan warga Kota Yogyakarta.

Yogya memang menjadi tempat yang ramah untuk sepeda. Terlebih mereka memiliki H. Herry Zudianto, walikota yang peduli dengan sepeda. Bahkan bersama istrinya Pak Walikota pun bersepeda ke kantor. Pemberian asusansi bagi pesepeda bermula ketika Pak Wali ditabrak pengendara motor yang ternyata masih berstatus pelajar. Untuk kemudahan dan kenyamanan mobilitas bersepeda, di Yogya dipasang banyak plang petunjuk jalur alternatif buat pesepeda. Jalur sepeda pun sudah dibuatkan meski pada praktiknya susah untuk bebas dari kendaraan bukan sepeda.

Jalur sepeda juga bisa ditemui di Solo. Bahkan di Jalan Slamet Riyadi saya sempat memergoki lampu lalu lintas untuk mengatur sepeda. Di jalan ini memang ada lajur khusus sepeda di sisi kiri dan kanan jalan utama. Nah, di setiap perempatan sepeda pun harus patuh dengan lampu lalu lintas sebab ada lampu khusus bergambar sepeda yang akan berwarna merah, kuning, atau hijau.

Di Solo, pesepeda lumayan dihormati oleh warga pengguna jalan lainnya. Saat tim jelajah ikut sepeda riang sebelum berangkat ke Yogya saya merasakan toleransi itu. Padahal sepeda riang yang melewati jalan-jalan di seputaran Kraton itu praktis tanpa pengawalan marshal atau petugas khusus. Memang, ada satu dua pengguna jalan lainnya yang terkadang tak mau mengalah sehingga nyaris terjadi kecelakaan. Namun secara keseluruhan tak ada “keributan” terjadi. Saya membayangkan kalau terjadi di Jakarta bakalan ramai bunyi klakson bersahut-sahutan.

Lain lagi di Pekalongan. Di kota santri ini sepeda seperti memperoleh rumahnya. Meski hanya menginap semalam, saya bisa merasakan atmosfer yang nyaman bersepeda di sini. Sewaktu menyusuri beberapa jalan di malam hari, lalu lalang sepeda masih terlihat. Lalu lintasnya tak begitu ramai, kecuali di jalur utama Pantai Utara. Kebanyakan sepeda yang bersliweran model jengki dengan keranjang di depan.

Sepeda Jepang begitu disebutnya, mengacu ke asal muasal sepeda ini. Ya, dari Jepang alias impor – melalui Pelabuhan Tanjungpriok.
Begitulah, dari jelajah ini saya bisa melihat banyak hal yang tak bisa dilihat manakala menggunakan angkutan bermotor. Inilah yang saya maksud dengan kesenangan sederhana itu. Jelajah Sepeda juga bertujuan menyukseskan tahun ini sebagai Tahun Bersepeda. Tak ada alasan untuk tak bersepeda. Terlebih pasal sepeda sudah masuk ke Undang-undang Lalu lintas yang baru.

Boks:
Diporet terus

Hal lain yang menggembirakan saat mengikuti Jelajah Sepeda ini adalah sambutan masyarakat di sepanjang jalan. Tak jarang komentar dari mereka membuat kami tergelak-gelak sepanjang jalan. Seperti celetukan penduduk saat rombongan melintasi etape Malang – Trenggalek. “Diapusi Rek. Dudu rombongan gubernur. Sepeda tok!” Rombongan memang dikawal dua mobil polisi yang kadang-kadang membunyikan sirinenya plus tiga motor besar. Makanya, begitu sirine meraung-raung, orang-orang langsung berhamburan ke pinggir jalan. Biasanya yang lewat rombongan pejabat tinggi. Si bapak tadi kecewa karena mengira yang lewat adalah rombongan gubernur. Enggak tahunya cuma barisan sepeda.

Kalaupun masyarakat mengerti rombongan sepeda yang lewat, ada juga yang kecewa karena, “Ora ono londone. Malahan pembalape wis tuwek-tuwek.” (“Enggak ada bulenya. Malah pembalapnya sudah tua-tua”). Di beberapa wilayah Jawa Timur memang terbiasa melihat rombongan sepeda lewat sebab sering diadakan balapan sepeda, yakni Tour de East Java (TdEJ). Tahun 2010 ini TdEJ diselenggarakan pada 18 – 20 Juni di Kabupaten Tulungagung. Nah, komentar tadi merujuk ke balapan sepeda yang biasa diikuti oleh peserta dari luar negeri. Makanya, begitu tahu rombongan pesepeda semuanya orang sendiri dan beberapa sudah berumur, mereka pun berkomentar seperti tadi.

Meski bukan pembalap asing, namun iring-iringan tim jelajah menarik perhatian banyak orang. Terutama saat jalan datar sebab iring-iringan terlihat rapi. Hampir semua orang yang ada di pinggir jalan langsung mengeluarkan ponsel berkamera atau kamera sakunya dan jeprat-jepret mengabadikan peristiwa yang baru dilihatnya. Bahkan ada pengemudi mobil dari arah berlawanan yang membuka jendela kaca di sampingnya dan ikut-ikutan memotret sambil menyetir. “Wah, kalau enggak ikut Jelajah Sepeda tidak mungkin dipotret begitu,” canda seorang anggota tim.

Saya sendiri juga heran dengan fenomena itu. Sepertinya – selain kecenderungan narsis – orang yang memegang kamera digital secara spontan akan mengabadikan peristiwa sekejap yang ada di depan mata mereka. Seorang mandor yang sedang mengawasi pekerjaan anak buahnya yang mengerjakan penggalian kabel serat optik pun langsung menghentikan pekerjaannya dan memotret iring-iringan tim jelajah. Bahkan seorang karyawan SPBU sampai berlarian menuju pinggir jalan dan mengeluarkan ponselnya, lalu klak-klik menekan tombol kamera di ponselnya. Semoga saja gambar yang tersimpan itu memberi inspirasi mereka untuk melirik dan lalu mengayuh sepeda ke tempat aktivitas.

Boks 2:
Dana Bukan Alangan

Sambutan pesepeda dari komunitas lokal yang antusias menunjukkan bahwa virus sepeda telah menjalar di beberapa kota. Sepeda-sepeda lawas mulai terlihat menunjukkan bahwa keterbatasan dana tak menjadi alangan untuk bersepeda. Yang punya dana berlebih mencoba mengecat ulang sehingga sepedanya tampak baru. Kalau sepeda onthel jangan ditanya lagi. Sekarang ini sudah susah mencari onthel berharga murah. Penggemar onthel tak melulu kalangan bapak-bapak yang mencoba bernostalgia, tapi sudah merambah ke anak remaja. Di Pekalongan saya menjumpai Aris dan kawan-kawan yang berusia rata-rata 20-an tahun. “Saya suka dengan bentuknya yang klasik,” kata Aris.

*) artikel ini dimuat di majalah Intisari bulan Agustus 2010

Advertisement

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s