gussur.com – Edisi pergi ke Barat berlanjut dengan menyambangi Baduy. Setelah ke Citorek dengan sepeda, kali ini ke Baduy dengan jalan kaki. Ini setidaknya melanjutkan perjalanan yang sudah saya rintis dengan sepeda lipat. (baca: “Menghapus Trauma Turunan di Jalur Stasiun Rangkasbitung – Kampung Ciboleger, Baduy“).
Kali ini aku trekking ke Baduy Luar. Berangkat tetap menggunakan KRL Tanahabang – Rangkasbitung, lalu disambung dengan ELF menuju ke Terminal Ciboleger. Dari terminal yang ditandai dengan tugu keluarga petani di tengah-tengah tanah lapang, baru melakukan trekking ke kampung Baduy Luar.
Sebenarnya paket seperti ini banyak ditawarkan oleh pemandu-pemandu indie, yang bergerak dari lingkup terbatas. Saya beberapa kali menerima tawaran seperti itu. Sayangnya waktu tidak pas.

***
Jumat 3/8/2018 pun saya dan teman2 sudah berada di Stasiun Palmerah. Menunggu kereta ke Rangkas yang tiba di Stasiun Palmerah sekitar pukul 21.00. Beberapa dari kami sudah naik KRL arah Maja yang berangkat lebih awal.
Kereta tidak penuh sesak tapi jelas tak memperoleh tempat duduk. Membayangkan dua jam bakalan berdiri membuat saya mencari tempat yang bisa digunakan untuk bersender. Semenjak menjadi KRL maka kita tidak bisa leluasa lagi di dalam kereta. Dulu, sebelum ada KRL, sempat merasakan naik KRD Tanahbang – Rangkasbitung. Masuk ke gerbong barang, saya dan teman2 pun leluasa duduk2 di lantai.
Beruntunglah, dua stasiun sebelum Rangkas dapat tempat duduk. Melemaskan otot kaki yang lebih dari sejam menopang tubuh seberat 65 kg ini sambil bergoyang2 seiring liukan rel KA.
Begitu sampai Rangkasbitung, lega sudah. Terutama menuntaskan kencing yang ternyata banyak pengikutnya. Toilet cuma satu pintu, meski di dalam ada sekitar tiga tempat terbuka plus satu tertutup. Pihak stasiun harus mulai memikirkan penambahan toilet sebab beberapa kali saya melihat antrian yang cukup panjang di toilet.

Dari Stasiun Rangkasbitung ini kami naik ELF menuju ke Terminal Ciboleger. Dibandingkan beberapa saat lalu, ternyata jalan menuju ke Ciboleger sudah halus. Tak ada lagi jalan makadam yang dulu pas hujan-hujan di lingsir waktu harus saya terabas dengan Dahon Sp8.
Hanya butuh sekitar dua jam untuk sampai Ciboleger. Ternyata sepi juga Ciboleger di tengah malam. Bulan yang tak bulat menaungi patung keluarga petani yang setia dalam panas dan dingin menyambut para tamu.
Setelah semua berkumpul dan mendapat arahan dari ketua rombongan, akhirnya kami pun beranjak menuju ke Kampung Balimbing, Baduy Luar. Akhirnya, apa yang dulu terhenti itu kampung tak jauh dari Terminal Ciboleger pun berlanjut langkahku.
Dengan lampu kepala yang sudah kehilangan separo dayanya (berharap Alfamart Ciboleger buka dan bisa membeli batere AA), saya dan teman2 pun menyusuri jalan beberapa tapak dengan pengerasan batu kali itu. Tapi ternyata malam yang gelap menyembunyikan rona wajah jalan itu yang sesungguhnya. Tentu saja terlihat bagus karena datar, meski ternyata ada sedikit lobang di sana-sini.

Alhasil saya pun menyisir bahu jalan. Ya, seperti lirik lagunya Tommy Page itu, A Shoulder to Cry On, maka saya pun butuh bahu jalan untuk menyandarkan keletihan akibat memilih jalan yang nyaman di bebatuan. Duh, jadi melankolis ya.
Tapi jangan terlena dengan bahu jalan, terutama di turunan. Sebab ada beberapa kerikil yang siap menggelincirkan alas kaki Anda, lalu … kalau tak bisa menjaga keseimbangan, maka hukum gravitasi akan menghukum Anda! Bdebum!!!
Di malam yang sepi itu, ternyata perjalanan dari Terminal Ciboleger ke Kampung Balimbing telah memberi banyak pelajaran hidup bagiku.
Yah, alam tak pernah pelit dalam memberi pelajaran kepada manusia.

Sekitar sejam naik turun jalan beberapa tapak, kami pun tiba di rumah Kang Sarpin. Di sinilah selama dua malam (atau tepatnya satu setengah malam karena setengah malam sisanya kami masih di perjalanan) kami akan merebahkan tubuh, menyatu dengan alam Baduy Luar.
Begitulah, setelah mandi (dengan tanpa berpikir airnya dingin) saya pun tidur di teras rumah Kang Sarpin. Ruang dalam diperuntukkan bagi kamu perempuan. Sementara yang lain menyebar di dua rumah tak jauh dari rumah Kang Sarpin.

***
Hari pertama di Balimbing telah kubuka dengan belajar bersama Andi. Yakinlah pakai “i” dan bukan “y” meski Baduy pakai “y”.
Seperti anak-anak seusianya (sekitar 13 tahun), Andi tidak mengecap bangku sekolah. Tapi jangan lantas mengira tak bisa baca-tulis-hitung. Jika ada tamu seperti kami menginap di rumahnya Kang Sarpin, dengan sigap dia akan membawa “ubarampe” jualannya: popmi, kopi, teh, dan makanan bungkusan lain. Logikanya kalau dia berjualan tentu bisa berhitung. Juga membaca. Menulis? Eh, iya belum mengetesnya saya.
“Saya juga hapal lagu Indonesia Raya dan teks Proklamasi,” katanya bangga tanpa ditanya.

Dari mana ia memperoleh semua kebisaan itu? Tentu dari lingkungan sekitarnya. Permainan yang dia lakoni waktu kecil pun tanpa sadar mengajarkannya berhitung sekaligus mengeja kata-kata.
Soal bermain, anak-anak tak pusing dengan gawai. Saat di depan mereka ada palang bambu untuk jemuran pakaian yang kosong, beberapa anak laki-laki menggunakannya sebagai tiang ayunan. Mereka berayun berkejaran dari tiang penyangga satu ke tiang penyangga lainnya.
Nah, bisa dibayangkan betapa dengan alat sederhana saja anak-anak itu sudah melatih banyak hal. Kekuatan, keseimbangan, dan juga kecerdasan sosial jika tiba-tiba saja bambunya patah. Bagaimana ia harus bersikap. Melarikan diri atau bertanggung jawab? Bagi generasi 80-an tentu punya banyak pengalaman soal beginian.

Itulah kearifan tradisional yang terus dipelihara oleh masyarakat Baduy Luar. Mereka yang setia akan senantiasa merawatnya. Sementara yang tak bisa menjaga kesesuaian akan keluar.
“Ada beberapa yang merasa tidak sanggup hidup dengan cara seperti ini terus keluar. Tapi keluar sendiri juga memiliki banyak konsekuensi yang harus dipertimbangkan. Beberapa di antara mereka yang kemudian mempertimbangkan dengan masak-masak akhirnya tidak jadi keluar,” cerita Kang Sarpin.
(Hidup memang sebuah pilihan.)
Kang Sarpin juga bercerita soal polisi adat yang akan mengingatkan warga akan kemurnian tradisi mereka. Tapi, seperti dalam dunia luar sana, kedatangan polisi ini kadang sudah terendus sehingga warga bisa menyembunyikan barang-barang yang melanggar tradisi.
(Hidup kadang sebuah kompromi.)
***
Meski jauh dari sinyal dunia modern (gelap, tak ada televisi, sinyal operator ponsel hanya beberapa yang tertangkap), tak menjadi Baduy Luar ini sepi pengunjung.
Ketika pagi merekah, terlihat beberapa anak milenial yang menginap di beberapa rumah warga lainnya. Tentu saja mereka tak bisa lepas dari cahaya, sehingga malam-malam mereka menggunakan lentera yang sudah diisi penuh dayanya untuk menemani mereka saat ngobrol bersama di teras.
Kontras dengan anak-anak yang main di halaman rumah, berlarian tanpa pernah tersandung, padahal malam begitu pekat. Ah, saya hanya melihat hasilnya saja. Pasti dalam proses mereka berlarian di malam hari pernah mengalami jatuh tersandung batu.

(Hidup perlu beradaptasi.)
Mencoba memahami apa yang menarik dari Baduy Luar ini di mata anak-anak milenial? Sedikit banyak karena banyak spot di sini yang Instagrammable. Keaslian alam dan sungai dengan bebatuannya, kepolosan anak-anak dengan polah saat bermain, atau jembatan bambu yang bergoyang kala dititi.
Ketiadaan sinyal juga semakin mempererat komunikasi antarmereka. Lebih fokus dengan obrolan tanpa tangan dan mata harus bekerja ekstra membagi kesibukan: melihat lawan bicara sekaligus melihat layar ponsel (yang sebenarnya ‘lawan bicara’ lain di dunia lain).
Di sebuah teras rumah lain saya melihat anak2 muda itu serius berdiskusi. Bisa jadi mereka sedang menggodog sebuah kegiatan. Jika dibicarakan di tempat nongkrong di kota, bisa jadi fokus pembicaraan akan pudar karena banyak gangguan. Nah, dengan melewatkan semalam di Baduy Luar, mereka bisa memperoleh hasil yang banyak. Rapat fokus, jalan2 juga bisa “dibungkus”.

Salah satu jalan2 yang kayaknya wajib dicoba jika sudah menginap di Baduy Luar ini adalah ke jembatan akar. Jika melihat patung keluarga petani di Terminal Ciboleger, tentu Anda akan melihat gambar jembatan akar ini. Atau di gapura masuk terminal. Jadi sudah ikonnya Baduy deh.
Ia bercerita, jembatan akar ini letaknya masuk di Kampung Penyerangan. Dikombinasikan dengan susunan bambu untuk pijakan jembatan, jembatan akar yang panjangnya sekitar 10 meter ini dikira-kira sudah berusia 40 tahun.
“Jembatan ini yang buat Pak Sayunah. Dia tinggal di Kampung Penyerangan sini,” kata Pak Erwin.
Anda memang hanya akan bisa duduk-duduk di sini. Orang yang lalu lalang di jembatan akar tidak banyak. Tapi tidak akan bosan-bosan mengira-ngira cara pembuatan jembatan akar ini.
(Sumber: dari sini)
Jembatan ini bisa diakses dengan jalan kaki dari Baduy Luar seperti dari Kampung Balingbing. Butuh sekitar 3 – 4 jam, naik turun bukit. Namun ada cara yang lebih singkat. Naik ojek atau seperti yang kami lakukan, menyewa kolbak. Nanti kita akan didrop di perkampungan terakhir yang masih bisa diakses kendaraan roda dua atau empat. Dari sini kita masih harus jalan sekitar 2 km.

Berjalan menuju ke jembatan akar membuka mata kita akan kekayaan alam Baduy. Selain durian, pisang menjadi buah andalan untuk diperdagangkan. Meski harus dengan perjuangan berat untuk membawa pisang dari kebun ke tempat pengepul, tapi jika dilakukan dengan tanggung jawab ya tak masalah.
Keindahan alam dan keramahan penduduk membuat “sepi” karena tak terhubung dengan dunia maya tak lagi mematikan. Percayalah, ada banyak yang bisa kita pelajari dari masyarakat Baduy sembari menganggurkan gawai kita.
Jadi, kapan ke Baduy?
