gussur.com – Hujan menderas jelang start Coast to Coast (CTC) Night Ultra Trail kategori 50K pukul 22.000 di Parangtritis Geomaritime Science Park.
“Wah, malas bener kalau hujan pas start gini,” keluhku.
Mm Mm Mm Mm …
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
…
Namun entah mengapa suara lagu Gregorian dalam alunan orkestra itu membuatku semangat. Meski aku menangkapnya sebagai musik ke pemakaman seorang kesatria yang pasti dikagumi. Megah. Menggugah untuk meneladani sikap-sikap kestaria yang telah berpulang.
Maka, aku pun meloncat ke tempat start. Sudah kadung. Ini acara yang tertunda selama pandemi. Terakhir 2019 ikut di kategori 25K dan DNF! Saatnya membayar utang. Kali ini ambil 50K.
(Coast to Coast Night Ultra Trail yang ke-6 pada 11-12 Juni 2022 kali ini melombakan lima kategori: 70K, 50K, 25K, 13K, dan 5K. Dua kategori pertama start dilakukan pada 11 Juni – 70K pukul 18.00 dan 50K pukul 22.00 – sementara sisanya pada 12 Juni 2022 – 25K pukul 04.00, 13K pukul 05.00, dan 5K pukul 06.00.)
Memang berbeda suasana lokasi start kali ini. Tidak terdengar deburan ombak. Juga desir angin laut. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk bisa merasakan itu. Hujan berubah menjadi rintik manakala tapak-tapak kaki memasuki lautan pasir pantai laut Selatan. Terkadang berhenti sehingga ada beberapa peserta yang mencopot mantol terawang yang biasa dijajakan di pinggir jalan manakala hujan turun atau jaket waterproof mereka.

Entah, hampir di setiap pelarian, aku lebih suka menikmati guyuran hujan. Sepanjang kepala terlindungi topi tubuh lebih nyaman berjaketkan hujan. Meski membawa jaket penahan hujan atau angin, hanya aku pakai kala berhenti agak lama di water station (WS).
Melintasi tiga sungai kecil, satu diberi jembatan bambu – sebelum akhir lintasan pasir hujan kembali turun, dan makin deras kala menanjak menuju jalan raya yang menghubungkan kawasan Parangtritis dan daerah Gunungkidul sisi selatan. Jalur ini menjadi bagian Jalur Lintas Selatan yang mimpinya merentang antara Banten sampai Banyuwangi.
Aku mulai merasakan ada yang salah dengan sepatu yang kupakai. Kali ini memakai Skecher Go Trail yang lama tidak kepakai. Ketika dipakai buat menapak di tanjakan beton basah karena hujan ternyata gigitannya kurang tajam. Terasa ada licin di setiap langkah. Membuat harus hati-hati ketika tanjakan curam.
“Duh, bisa terkuras tenaga nih kalau modelnya gini,” kataku.
Bahkan gigitan pun kurang keras ketika menapak di aspal. Rute awal di aspal ini memang langsung disuguhi tanjakan curam. Di sini peserta mulai terseleksi, dan terbagi-bagi dalam rombongan kecil. Aku mengikuti rombongan tiga orang yang sepertinya satu komunitas.
Malam menjelang menuju puncaknya, dan hujan masih saja menemani kami. Rute mulai masuk ke perkampungan. Beberapa orang, terutama para pemuda, masih terlihat berjaga di gardu. Ada juga yang sudah tidur. Berkat dana desa, jalan-jalan perkampungan kini sudah dibeton. Meski tidak sepenuh lebar jalan. Hanya ada dua jalur yang menyisakan kontur asli di bagian tengah. Pada rute datar aku melewati beton, tapi ketika turunan atau tanjakan ketika beton tidak diberi garit-garitan untuk memberi efek gigitan pada tapak ban kendaraan, aku memilih di tengah meski konsekuensinya harus hati-hati sebab tidak semuanya datar. Konstruksi jalan di kawasan Gunungkidul adalah batu-batu gamping yang disusun.
Di sini rombongan sudah terpisah-pisah jaraknya. Kadang sorot lampu masih bisa terlihat. Tapi semakin malam kabut juga mulai turun. Beruntung aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu di masa lalu. Tidak terbersit rasa takut meski sendirian menyusuri jalan perkampungan.
Begitu juga ketika melintasi kuburan. Suasana singup masih kental di sini. Bahkan beberapa kuburan masih menggunakan cungkup atau semacam rumah kecil. Terbersit, ada apa di dalam sana?

Aku jadi teringat dengan lagu pengantar start tadi. Ya seperti mengantar ke pemakaman. Ada sekitar lima kuburan yang aku lewati. Khas perkampungan di Jawa adalah kuburan terletak tak jauh dari pemukiman dan kadang malah berada di pinggir kampung. Jadi kalau melihat kuburan, berarti tak perlu khawatir. Tak jauh dari situ pasti ada perkampungan.
Toh meski dulu sewaktu kecil disuruh menemani orangtua yang tirakatan di kuburan leluhur tetap saja aku merasa takut. Terlebih ada suatu momen ketika sedang berlari sendirian di sebuah lembah, sudah lewat tengah malam, gerimis, tiba-tiba seperti melihat sorot lampu dari sebuah kuburan. Aku pikir peserta juga. Makanya aku segera memacu lari biar ada teman. Tapi begitu mendekat kuburan kok di depan tidak ada sorot lampu lagi?
Mala petaka terjadi ketika rute memasuki jalur setapak. Rute ini sepertinya jalan setapak penduduk menuju ke ladang mereka. Atau jalan pintas jika ingin ke kampung sebelah. Jalanannya menanjak ke sebuah bukit dan kemudian turun. Hujan masih saja turun membuat jalan setapak ini menyisakan genangan dan jalan becek. Tipikal jalan setapak di Gunungkidul adalah batu-batu gamping dengan penutup tanah di antaranya. Ketika hujan turun tanah ini hanyut dan menyisakan lubang antarbatu.
Bisa jadi kurang hati-hati dan memang daya cengkram sepatu yang gak maksimal, pada suatu turunan di jalan setapak seperti ini kaki kiriku keseleo. “Krek!”
Aku pingin berhenti sebenarnya, tapi di belakangku ada peserta lain dan jalur tidak menyisakan sisa untuk menyalip. Jadi aku menahan nyeri dan terus melangkah sampai kemudian bertemu jalan raya. Segera aku “membenahi” kaki kiri agar nyaman kembali.
Yang selalu bikin salut di CTC ini adalah WS-nya dan petugasnya yang ramah dan melayani.
“Mau pop mie?” begitu tanya petugas WS saat aku sampai di WS 4 selepas Gua Cerme. Langsung saja aku iyakan sekalian minta tolong bidon diisi air ion. WS ini berjarak sekitar 21 km dari titik start. Jadi sudah saatnya mengisi “bensin pertamax”. Penomoran WS ternyata mengacu ke kategori 70K. soalnya kalau mengacu ke 50K, ini WS ke-3.



Rasa sakit akibat terpelecok tadi makin merembet ke mau kram di betis. Terlebih waktu dipakai untuk melibas turunan. Akhirnya di WS 6 masuk ke ruang “ketok magic”. Baru kali ini berkenalan dengan alat getar yang bikin merem melek. Ada sekitar 15 menit kaki kiri, terutama betis, diketok pakai alat getar tadi. Kucing garong (istilah teman untuk menyebut kram) yang mau keluar tadi akhirnya masuk kandang lagi. Betis siap digunakan tanpa masalah.
Keluar dari WS 6 ini aku sendirian. Teman seperjalanan sudah mendahului jalan. Tapi begitu melangkah ke jalan raya, kebetulan WS 6 ada di pinggir jalan raya yang menghubungkan daerah Giriasih menuju Parangtritis, ternyata masalah lari ke ujung selangkangan sebelah kiri. Nyeri begitu menjerit ketika kaki diajak melangkah. Apakah balik ke ruang ketok magic lagi dan kehilangan waktu?
Aku memutuskan terus sambil menekan ujung selangkangan kaki kiri ketika digunakan untuk melangkah. Lumayan membantu, sambil mikir apa bisa dibebat saja? Tapi tidak menemukan tali atau semacamnya. Ya sudah, nyatanya semakin jauh semakin nyaman, dan tekanan pun bisa dihilangkan. Hanya untuk lari masih terasa sakit.
Rute kembali masuk ke perkampungan. Beruntung program listrik masuk desa sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun silam. Jadi selama di perkampungan jalanan terang karena setidaknya tiap 20 m ada lampu penerangan jalan. Aku pasti yakin ini swadaya masyarakat sebab di kampung halamanku yang masih satu provinsi pun melakukan hal yang sama.
Agak kaget juga melihat banyak motor diparkir di pinggir jalan atau depan rumah penduduk. Yang mengherankan, sempat melihat beberapa kunci motor masih tergantung di motornya. Awalnya mengira pemilik motor lupa. Tapi kok kemudian ada beberapa motor yang kunci masih menggantung. Aku mencoba melihat rumah-rumah apakah masih ada kegiatan. Namun hanya sepi kusua. Waktu memang sudah lewat tengah malam menuju subuh. Berarti daerah ini aman.
Aku pun tak merasa takut meski kemudian perkampungan lewat dan masuk ke tegalan atau hutan kecil. Tak ada lagi lampu penerangan jalan. Jadi mengandalkan lampu sendiri. Gerimis masih memandikan tubuhku yang lelah. Jalanan masih becek. Aku sudah tidak peduli lagi sepatu menginjak genangan. Sesekali melihat ke belakang siapa tahu ada sorot lampu menuju ke arahku. Tapi harapan itu sirna. Kembali menjumpai makam, pohon beringin besar, dan sendang. Kombinasi yang sering kita jumpai di wilayah Gunungkidul ini. Setidaknya pohon (beringin) besar dan sendang atau telaga. Kata orang di pohon beringin besar itu ada penunggunya. Tapi aku gak akan mencarinya, dengan menyorotkan lampu ke atas atau sekelilingnya. Cukup fokus ke depan.

Terlebih setelah rute kuburan dan pohon besar ini adalah turunan melewati jalur air. Terpaksa harus ekstra hati-hati setiap melangkah. Bahkan tak jarang harus jongkok untuk turun sembari tangan menapak di sisi kanan kiri saluran air agar bokong tak menyentuh dasar saluran yang berupa batuan padas.
Hari mulai terang ketika membaca penunjuk arah “Gua Jepang”. Wah, tinggal sebentar lagi. Sebentar di sini sekitar 15 km. Aku masih setia untuk jalan kaki. Sesekali jalan kaki dipercepat. Namun begitu melihat di depan ada fotografer langsung mengumpulkan tenaga buat berlari haha …. Begitu manipulatifnya aku ya. Tapi aku pikir rerata peserta akan berbuat begitu. Terlihat tak bermasalah ketika akan didokumentasikan di sebingkai imaji diam. Kecuali si fotografer melakukan foto diam-diam. Kena deh sifat asli kita.
Di Gua Jepang ada WS dan aku berhenti untuk minta kompres di sisi dengkul bagian luar kaki kiri yang mulai terasa linu lagi. Tak lupa pula di sini berfoto untuk pertama kali sejak start. Ada spot untuk medsos yang menarik perhatian. Kebetulan ada peserta yang juga berfoto di situ. Jadi sekalian minta tolong difotokan. Bergaya melupakan segala penat pun aku lakukan. Setelah itu baru sadar, bukannya ini spot jarang dirawat semenjak pandemi? Aku perhatikan lantai spot juga berlubang di sana-sini. Ah, beruntung tidak rubuh waktu aku duduk di spot yang berbentuk bulan sabit ini.
Rute selepas Gua Jepang adalah dominan turunan. Nikmat membawa sengsara sih sebenarnya, sebab kaki kiriku akan bertambah sakit untuk menapak turunan. Dan kembali mala petaka kedua menimpaku. Justru ketika suasana gelap sudah berubah terang, meski sinar mentari juga belum nongol. Di salah satu turunan jalan setapak, kembali aku kena masalah. Kali ini terpeleset dan meski kedua tangan bisa menahan pantat tak menghantam jalan, namun ada batu gamping menghantam tulang ekor.

Seketika aku diam saja menahan nyeri yang merayapi punggung. Ketika di belakang ada peserta yang lewat aku diam saja. Mereka mencoba mencari jalan lain. Salah satu dari mereka bertanya apa aku aman-aman saja. Kujawab aman, sambil atur napas menghilangkan nyeri dan menggeser badan ke sisi yang aman untuk duduk.
Agak lama aku duduk, dan entah berapa peserta melewatiku. Di rute ini sudah bergabung peserta kategori 25K yang notabene banyak pesertanya dan masih bugar-bugar bagi mereka karena baru melewati sekitar separo rute.
Ketika sudah agak mendingan aku mulai bangkit dan berjalan lagi. Kali ini sambil menoleh ke belakang sebab jalan ini hanya bisa dilalui satu orang dan takut menghambat mereka. Jadi ketika melihat ada peserta di belakang, aku langsung mencari area yang agak longgar dan menepi.
Semenjak tulang ekor menghantam batu praktis aku hanya bisa jalan kaki. Turunan pun tak bisa lagi lari-lari kecil. Di WS teakhir, sekitar lima kilo dari titik finish aku tak mengambil apa-apa. Toh jalanan tinggal datar dan masuk ke gumuk pasir.
Akhirnya aku masuk gumuk pasir. Dulu pas ikut 25K, akibat salah baca peta, rute gumuk pasir ini justru aku susuri di awal. Padahal ini rute akhir. Makanya ketika DNF dan tidak diperbolehkan masuk rute ini aku bilang sama marshal, tadi aku sudah lewat mas hehe….
Di gumuk pasir aku sempat selfi karena terbujuk rayu plang “Spot Foto”. Latar belakang barisan pohon tal sebanyak 11 menjadi spot menarik di sini. Pohon tal di zaman dulu menjadi media dokumentasi tertulis. Masih ingat dengan istilah rontal? Itulah jasa pohon tal. Ron adalah istilah untuk daun, sehingga rontal adalah daun pohon tal. Dulu daun ini diolah sedemikan rupa sehingga bisa dijadikan lahan untuk menulis. (Jadi ingat dengan tanaman rondo bolong kan?)

Akhirnya dengan segala keremukan badan, terutama bagian pusar ke bawah, aku pun finish 11 jam lebih sekitar 3 menit. COT adalah 12 jam. Akhirnya terlunasi sudah utang 2019 silam. Begitu menerima medali aku langsung menuju bagian fisioterapi untuk minta dilakukan peregangan agar kaki tidak nyeri di kemudian hari.
—
In nomino tirmeno / ne nomine to fa / imaginas per meno per imentira
Mm Mm Mm …
Lagu yang sama ketika melepas start masih menggema. Menderu-deru menusuk kalbu membuat aku jadi penasaran. Lagu siapa? Apa judulnya?
Dua hari kemudian aku baru tahu lagu itu. Lagu yang menjadi theme song film 1492: Conquest of Paradise itu karya komponis Vangelis yang memiliki nama panjang Evangelos Odysseas Papathanassiou ini. Kelahiran 1943 di Yunani ini ternyata salah satu filmnya, Chariots of Fire, menang Oscar pada 1981. Evangelis meninggal dunia pada pada 16 Mei 2022 dalam usia 79 tahun.
Begitu penasaran dengan lagu itu aku googling dan tidak menemukan arti dari lirik yang ternyata mengantar Columbus menemukan benua Amerika.
Entah sugesti dari lagu itu, atau karena sebelum ikut CTC ini aku mendaki Gunung Raung, rasa nyeri di kaki yang biasa aku rasakan setelah ikut lomba lari ultra dengan persiapan ala kadarnya tak terasakan. Bahkan ketika finish pun aku merasakan ada kegairahan yang baru. Semangat yang melesat menyelusup setiap pembuluh darah.
Atau seperti yang dikatakan Dean Karnaez, seorang pelari ultra dan juga pengarang, “ … If you want to talk to God, run an ultra,” itu semua adalah buah dialog dengan Tuhan?
1 Comment